Sepotong kisah di bulan September 2006.
Perkenankan aku
untuk bercerita apa yang dialami Paula hari ini.
11 September 2006
(Yogya-Solo)
Siang tadi, aku –
Paula, terseok-seok haus saat menunggu kereta express menuju kampung halaman.
Mataku yang rabun karena kelelahan, cukup kuat untuk melihat Paul yang menuju
kereta yang sama yang kunaiki. Ia tersenyum, dan tanpa banyak kata langsung
duduk di sampingku. Aku yang merasa sedikit canggung atas perasaan yang pernah
bersemi, tanpa basa-basi, hanya membalas senyumannya dengan senyuman. Seperti
layaknya orang asing, kami pun tak banyak berbicara ketika kereta mulai kencang
lajunya. Lima belas menit pertama kami juga tak bertukar sepatah kata pun.
Kulirik dari sudut mata kalau pandangannya jauh ke depan, dan aku pun
menyandarkan kepalaku ke dekat jendela. Aku mulai menutup mata, dan siap untuk
ke alam mimpi. Dihantar oleh guncangan kereta yang melaju, bisa kurasakan kaki
Paul yang menyentuh kakiku. Guncangan yang alami itu membuat kaki-kaki bergeser
secara alami. Akupun berpura-pura terlelap sembari merasakan desakan
lembut kaki Paul yang menyentuh kakiku yang sama-sama terbalut pakaian rapi dan tebal karena musim mangga yang dingin. Aku menikmatinya, dan ketika
aku berusaha untuk menarik kakiku dan merapat, ia pun seolah mencari
sandarannya yang bergesar. Permainan tarik ulur ini kami lakukan dengan mata
terpejam dan keterpura-puraan. Aku bisa merasakan kalau Paul melakukan hal yang
sama denganku. Kami mengindahkan keadaan sekitar, pura-pura terlelap, dan
kaki-kaki kami saling bersinggungan karena guncangan.
Perlahan aku merasakan lengannya yang menyentuh lenganku. Kemudian
kurasakan aura tubuhnya yang makin mendekat dan mengoyak aura penjagaanku.
Selama tiga detik kubuka mataku untuk melihat apa yang terjadi antara aku dan
dia, dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat kepalanya berjarak sekitar
15 cm dari pundakku. Ia seperti terayun-ayun untuk menyandarkan kepalanya ke
diriku. Aku pun juga tak sabar untuk menerimanya. Aku kembali memejamkan mata
sebelum orang melihat. Sambil berharap ia menyandarkan
kepalanya ....
Kereta berhenti.
Gerakannya menghentak.
Aku terbangun, dan
kudapati Paul yang telah menyandarkan kepalanya di pundakku. Perlahan ia pun
bangun dan menatapku. Tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Paul adalah dosenku
sewaktu aku di SMU dulu. Aku pernah diam-diam mencintainya. Dan meski ia
mengetahui perasaanku ini, tetap saja ia menjadi guru pembimbingku sewaktu
menyusun tugas akhir sekolah. Aku melihatnya sebagai alasan untuk lebih dekat
denganku.
Seperti dosa-dosa
yang biasa terjadi pada diri manusia, aku pun merasa ketagihan. Paul pun juga. Sebelum
berpisah, kami berjanji akan bertemu di gerbong kereta yang sama. Mungkin
sebuah harapan agar permainan bisa dilanjutkan.
Tuhan, kami tidak
bercinta ... it’s only as if we did.
After all we are
all ordinary people
God only knows
which is which and who is who
Gambar dari rumah lama?
BalasHapushttp://valhallander.blogspot.com
Andai saja, Multiply tidak memusnahkan semua postingan.
Keretaku ada di MP :(