Judul: The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine)
Penulis: James Redfield
Penerjemah: Alfons Taryadi
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: 430 Halaman
Dimensi: 11 x 18 Cm
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan Ketiga, 1999
Penulis: James Redfield
Penerjemah: Alfons Taryadi
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: 430 Halaman
Dimensi: 11 x 18 Cm
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan Ketiga, 1999
Sebuah buku tidak akan laris
jika tidak berisi sebuah pemikiran. Dan sebuah pemikiran tidak akan menggebrak
dunia jika tidak berupaya merevolusi. Setuju atau tidak, tapi inilah yang
terjadi, dimana Novel Spiritual The Celestine Prophecy atau Manuskrip Celestine
tidak hanya membuat heboh Dunia, akan tetapi sudah membius para pembacanya di
seluruh dunia, bahkan juga di Indonesia.
Setelah mengalami lima kali
cetak ulang dan pihak Penerbit Gramedia pun sempat membuat diskusi terbuka
tentang novel ini. Manuskrip Celestine adalah sebuah ramalan tentang sebuah
transformasi massal dalam masyarakat manusia. Dimana ada semacam kebangkitan
dalam kesadaran yang berlangsung perlahan-lahan. Tidak bersifat agamawi, tapi
bersifat spiritual. Ditengah hiruk pikuk bingungnya akan eksistensi diri,
manusia mencari makna hidup. Dan novel ini menceritakan tentang perjalanan
untuk menemukan suatu bentuk kehidupan manusia yang baru. [1]
Sebenarnya apa yang ditulis
dalam Manuskrip Celestine ini bukanlah hal yang baru. Sebelumnya kita punya
Fritjof Capra dengan bukunya The Turning
Point, lalu ada buku The Aquarian
Conspirasy: Personal and Social Transformation in 1980’s dari Marilyan
Fergusson; yang mana semua buku-buku itu, sama halnya dengan buku-buku James
Redfield, yaitu menyadarkan kita tentang adanya perubahan paradigma cara
pandang manusia terhadapa dunia ini, termasuk dalam bidang sains, yang
tergabung dalam aliran kosmologi baru – bahwa hidup adalah petualangan suci.
Bagi sebagian besar orang, sebut
saja, pemeluk agama terbesar Indonesia yang Islam ini, bahwa Manuskrip
Celestine memberikan perubahan besar bagi keberagamaan mereka. Benarkah ini?
Makalah ini akan mencoba mengungkap dampak novel Celestine Prophecy (Celpro)
bagi religiusitas seseorang dan juga dampaknya di bidang yang lainnya.
Maksudnya adalah Celpro membawa kita mengenal New Age secara tidak langsung,
lalu akan dibawa kemana pemahaman itu dan akan seperti apa bentuk pemahaman
mereka itu.
MANUSKRIP
CELESTINE: Lagu Lama yang Indah
Meski bukan hal baru, tapi apa
yang ditulis oleh James Redfield sangatlah indah. Ia akan membawa kita kepada
suasana era tahun 60-an dimana “The
Beautiful People”, para Hippies itu merasakan bahwa Sidharta Gautama bukan
hanya milik orang Buddha saja, Kebijaksanaan I Ching pun bukan semata-mata milik Timur, tapi Barat yang beberapa
insannya sudah ‘taubat’ pun juga memilikinya.
Hal-hal menakjubkan dari Timur
sudah memukau Barat sedari dulu, dan hanya beberapa yang bisa mengabadikannya
dalam sebuah novel. Manuskrip Celestine adalah salah satunya. Untuk memahami
efeknya kepada keberagamaan seseorang, maka dirasa perlu untuk menceritakan
wawasan-wawasan apa saja yang terdapat di dalamnya.
Manuskrip ajaib ini dibagi ke
dalam beberapa bab. Tiap bab menceritakan wawasan khusus untuk hidup. Ramalan
yang dibawa oleh manuskrip ini adalah bahwa dalam periode waktu ini, manusia
akan mulai memahami wawasan ini secara berurutan, yang satu mengikuti yang
lain, sementara kita tengah bergerak ke arah budaya yang sama, yaitu bersifat
spiritual.
Di dalam Celestine Prophecy ini
ada sembilan wawasan yang menggambarkan mistisisme dengan bahasa psikologis,
dan seri kedua dari buku ini, yaitu The
Tenth Insight: Holding The Vision (dalam edisi bahasa Indonesia yaitu The
Tenth Insight: Wawasan Kesepuluh, diterbitkan oleh Gramedia pula). Edisi kedua
dari novel Redfield ini lebih membahas dimensi keruhaniyahannya, dimana disitu
akan diceritakan cara-cara hidup baru yang dianut umat manusia yang ingin
mencari makna hidup, tapi hilang karena dunia materi.
Manuskrip Celestine berbicara
tentang peristiwa kebetulan, intuisi, energi, evolusi dan etika interpersonal
yang baru. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Manuskrip ini, dengan sembilan
wawasannya untuk mengajari kita menghargai peristiwa kebetulan, menangkap
pesan, memperhatikan energi, menyerapnya dan menggunakannya dengan benar. Lalu
kita diharuskan untuk ramah lingkungan dan diajak untuk mempercayai bahwa
manusia pun tengah berevolusi dan belum berhenti. Etika interpersonal
mengajarkan yaitu kesadaran bahwa setiap pertemuan antara pribadi satu dengan
yang lainnya itu menyiratkan etika, dan bersama-sama kita meningkatkan
keruhaniaan kita, dan membentuk kesadaran baru manusia di millenium ketiga ini.
[2]
CELPRO dan NEW
AGE
Visi transformatif New Age dari
personal ke sosial itu, sungguh paralel dengan arus utama kebangkitan spiritual
dewasa ini, yang secara epistemologis dimatangkan James Redfield melalui empat
karya besarnya sekaligus: The Celestine Prophecy: An Adventure (1993), The
Tenth Insight: Holding the Vision, (1996), The Celestine Vision- Living
the New Spiritual Awareness (1998), dan The Secret of Shambala
(1999). "To change the world, we first had to change our selves,"
inilah pesan psikologis-spiritual James Redfield yang searah dengan gerakan New
Age.
Secara sederhana, selain
perkakas alat bantu peningkat kesadaran atau minyak essensial penenang,
berbagai macam novel spiritual itu adalah sebuah produk komersil yang
menyehatkan. Jadi, Novel Celestine ini adalah produk New Age. Menurut David
Spangler, dalam bukunya Revelation: The
Birth of a new age dan Emergence: The
Rebirth of the Sacred, dikatakan kalau ada empat level gerakan New Age.
Yaitu: Pertama, kategori komersial.
Termasuk kategori ini adalah sepatu berlabel New Age, musik-musik New Age seperti
Enya, Secret Garden, Enigma, Spiritus Sanctus, Anggun C. Sasmi (feat. Deep
Spirit), rekaman kaset dan video relaksasi, teknik-teknik kesadaran (seperti
reiki, zen, shamballa). Kedua, kategori
daya tarik (glamour). Kategori ini sering menjelma dalam kebudayaan populer,
penuh keanehan dan eksotis, kekuatan batin, spuranatural, occultisme, pemuja
kesunyian (withdrawal). Ketiga, level
New Age yang menaruh perhatian pada perubahan, seperti ingin terjadinya
perubahan politik, bisnis, pendidikan, peran gender, ilmu, agama, psikologi.
Kita mengenal psikologi psikoanalisis berubah menjadi behavioristik lalu
menjadi humanistik dan New Age mengubahnya lagi menjadi Psikologi Tranpersonal.
Sebut saja Danah Zohar. Dan dalam dunia pendidikan, sebut saja gaya mengajar
seorang guru dalam film Dead Poet Society dimana cara mengajarkannya mengacu
kepada keunikan setiap diri yang ada. Keempat,
level New Age secara paradigmatik ingin mendefinisikan kembali makna
‘kesucian’ dan sekaligus mensakralisasikan ulang bumi, manusia dan kehidupan
sehari-hari. Dan inilah New Age yang menjadi titik awal kebangkitan
spiritualitas New Age dan kesadaran baru dalam kehidupan sehari-hari. Fokus
utama New Age ini adalah transformasi utama pemikiran dan kehidupan secara
global. Contoh seperti, pemikiran Seyyed Hosein Nasr dalam Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Sachiko Murata dalam Tao of Islam, Hasan Askari dalam Lintas Iman Dialog Spiritual, buku-buku
Hazrat Inayat Khan, Tagore.
Lalu bagaimana
New Age ini akan berpapasan dengan agama? Akankah bertubrukan dengan
dahsyat dan saling menghancurkan, atau malah mungkin saling bekerja sama?
NEW AGE dan
FILSAFAT PERENNIAL
Kalangan New Age memakai
filsafat perennial sebagai jalan keluar dari krisis moral dan spiritual.
Karena, sophia perennis sebagai filsafatnya kalangan New Age, selalu
menghidupkan pesan sejati fitrah manusia. Manusia mengalami krisis, karena
telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia. Untuk itu, manusia perlu segera
menghidupkan kembali fitrah asasinya dalam kehidupan sehari-hari. Fitrah asasi
manusia, seperti berkiblat pada keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi,
sikap inklusif di tengah pluralitas, harus menjadi komitmen empiris dalam
keseharian hidup manusia. Sayangnya, nilai-nilai asasi fitrah manusia itu,
sudah kering dari lingkungan tradisi agama-agama formal. "Such
religions are false," kata Hanegraaff melukiskan sikap New Agers yang
alergi terhadap agama-agama formal,
karena dinilainya cenderung dogmatis, eksklusif, dan eksoteris.
Dalam Islam sendiri hal ini
tidaklah asing. Diskursus ataupun perdebatan mengenai filsafat perennial
beberapa waktu lalu, sempat meramaikan atmosfir pemikiran Islam di Indonesia.
Respon terhadap pemikiran ini di beberapa kalangan pemikir Islam di Indonesia
pada saat itu cukup positif. Filsafat Perennial atau philosophia perennis
menurut Sayyed Hossein Nashr dalam pengantarnya untuk karya Schuon, Islam and
the Perennia Philosophia, sesungguhnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Istilah ini pertama kali diperkenalkan
di Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philosophia
yang diterbitkan pada tahun 1540. Setelah itu istilah ini dipopulerkan oleh
Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulisnya pada tahun 1715.
BERTEMUNYA
DENGAN ISLAM
Kita mengenal sophia perennis,
Sanata dharma atau al hikmah al-khalidah, religio perennis, scientia sacra,
sama halnya dengan kita mengenal Guenon, Schuon, Seyyed Hossein Nasr, Corbin,
Burchardt, dkk yang menolak pandangan hidup filsafat modern yang relativistik,
positivisme dan rasionalistik. Dimana konsep ini mengandung pandangan bahwa di
dalam setiap agama itu terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan
dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih benar dari
yang lain.
Benang merah yang harus
ditekankan dalam memahami filsafat perennial adalah melihat agama dalam
realitas transendental aspek esoteris. Bukan agama dalam kenyataan faktual.
Artinya pada tingkat ini kita tidak mendiskusikan dan membahas mengenai agama
mana yang diterima disisi Tuhan dengan pendekatan empiris bukan ini
penekanannya. Dengan cara transendental dapat ditemukan norma-norma abadi yang
hidup dalam hati setiap agama-agama besar dan tradisitradisi spiritual kuno.
Dan ini semua membawa kita untuk melakukan dialog agama atau sekedar mengiyakan
bahwa bisa jadi Transcendent Unity of Religions-nya Schuon bukan sekedar
utopia belaka.
Di majalah ISLAMIA, dikatakan
oleh Adnin Armas bahwa gagasan Schuon tentang titik temu agama-agama pada level
esotoris adalah ‘utopia’, hanya karena gagasan ini merupakan hasil dari
pengalamannya ketika terlibat dari kehidupan agama-agama. Ini sama saja dengan
mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terburuk yang pernah ada. Tidakkah akan
cukup mengerikan kalau akhirnya mungkin kita juga akan mengetahui bahwa
sebenarnya ‘agama’ sendiri juga hasil dari pengalaman spiritual seseorang?
Kesimpulan dangkal bahwa Islam yang dikenalkan Schuon bukanlah Islam untuk
ummat, malah mengaburkan arti Islam itu sendiri. Karena pengenalan Islam ala
Schuon-lah yang mampu menggeret ratusan ribu manusia untuk kembali ke
Islam. Sebut saja Gai Eaton.
New Agers lebih gandrung dengan
pada kearifan perenial tradisional dalam mengatasi kemelut krisis moral dan
spiritual, karena sophia perennis selalu menghidupkan pesan sejati fitrah
manusia. Manusia mengalami krisis karena telah melanggar fitrah asalnya sebagai
manusia. Karena itu manusia perlu segera menghidupkan kembali fitrah asasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Fitrah manusia selalu berkiblat kepad akeadilan,
kebenaran, kebersamaan, toleransi, sikap inklusif di tengah pluralitas – harus
menjadi komitmen empiris dalam keseharian hidup manusia. Sayangnya, nilai-nilai
fitrah itu sudah kering dari lingkungan tradisi agama formal. [3]
Maka dari itu bisa dibilang
kalau para New Agers membenci agama formal yang terlalu dogmatis, ekslusif,
eksoteris. Meski banyak juga dari mereka yang lunak terhadap pluralitas agama
karena agama-agama formal itu juga memiliki nilai-nilai kearifan dan menuju
kesana. Meski kadang konsep ‘holy war’ dalam agama membuat lunaknya New Agers
tidak bisa melunturkan perkataan bahwa such
religions are false.
Didalam agama kita mengenal
konsep keselamatan, tapi tidak di New Age. Tidak disini dalam arti bahwa hal
itu tidaklah penting. Karena dalam New Age, yang terpenting adalah proses itu
sendiri yang akan membawa manusia itu menuju pencerahan atau enlightment. Dan
ini mirip sekali dengan konsep insan kamil dalam Islam, konsep suci kembali
atau fitri dalam Islam.
Dalam konsep insan kamil atau
istilah psikologisnya adalah orang yang menggapai self achievement tertinggi,
bisa dicapai (memang dicapai!) dengan pengalaman spiritual atau peak
experience. New Age mengajarkan ini semua bahwa tingkat kesadaran tertinggi
digapai dengan kontemplasi, pengalaman spiritual yang dicapai dengan berbagai
cara, sebutlah TM, Yoga, Meditasi, Reiki, Zen, dan banyak cara lainnya yang
berdasarkan kehendak hati. Bahkan pengalaman spiritual ini bisa terjadi dimana
saja, seperti di pegunungan (saat tafakur!), di dalam kamar, bahkan ditempat
kerja sekalipun jika itu memungkinkan. Hal ini pula juga tersebut dalam
Manuskrip Celestine-nya Redfield, bahwa segala tempat di bumi ini suci. Dan ini
sama seklai tidka bertolak belakang dengan Islam yang mengatakan bahwa “Setiap
bumi adalah masjid, karena itu suci”. Tapi dalam memahami ini, jangan kita
terpancing dengan tradisi kekakuan lalu mempertanyakan apakah WC umum juga
suci. Itu dikembalikan kepada diri kita masing-masing, apakah WC umum bagi anda
adalah tempat suci atau tidak.
Buku ini (Celestine Manuskrip)
menyiratkan ajaran New Age yang sama sekali tidak bertolak belakang dengan
agama apapun (termasuk Islam) karena yang digembao-gemborkan adalah nilai etika
dan berusaha mengatasi komunikasi interpersonal. Komunikasi semacam ini akan
membawa kita kepada sebuah forum dimana kita akan membicarakan hal-hal yang
tidak dogmatis dan tersekat-sekat. Seperti yang para New Agers cetuskan, begitu
pula para pluralist seperti Hasan Askari katakan bahwa sudah saatnya bagi kita
untuk bersama-sama saling meningkatkan kerohanian kita dengan mengacu pada
keindahan diri kita sendiri saat berevolusi. Bahkan menurut Osho dalam bukunya Psikologi Ghaib, kalau sudah saatnya
bagi manusia untuk berhenti berevolusi dan memulai revolusi diri, yaitu kembali
mempertanyakan dan menjawab apa visi misi hidup kita di dunia.
Bahkan New Age pun tak
tanggung-tanggung memperkenalkan bagaimana cara kita mengamalkan apa yang kita
punya. Dalam konsep Islam dikenal sebagai zakat. Dari sini, kita bisa lihat
bahwa New Age bukanlah agama baru, dan tidak bertentangan dengan agama-agama
besar apapun di dunia. New Age hanyalah sebuah spiritualitas tanpa institusi
yang mana sebagian New Agers mungkin masih ada yang antiagama (karena trauma!)
tapi juga ada yang moderat (karena ia seorang pluralist!). Jika Islam mempunyai
konsep rahmatan lil al amin, maka New
Age, seperti yang digambarkan oleh Hasan Askari, bahwa sudah saatnya kita
berpindah dari yang lahiriah ke batiniah (wawasan kesepuluh) dan kedamaian akan
tersebar luas. Dan hubungan antaragama merupakan tuntuan agama dari dunia
multiagama. Pluralitas agama (dilihat dari kacama New Agers) akan menjamin
agama tetap menjadi agama.
KEPUSTAKAAN
Askari, Hasan. 2003. Lintas Iman Dialog Spiritual. LkiS: Yogyakarta
Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Bentang
Budaya: Yogyakarta.
Chalfant, H. Paul & Beckley, Robert E &
Palmer, Eddie. 1994. Religion in
Contemporary Society. Peacock Publisher: Illinois.
Munawar-Rachman, Budhy. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. PT. Raja Grafindo
Pustaka: Jakarta.
Redfield, James
& Murphy, Michael & Timbers, Sylvia. 2002. God and The Evolving Universe: The Next Step in Personal Evolution. Penguin
Putnam: New York.
Redfield, James. 2001. The Celestine Prophecy. Gramedia: Jakarta
Smith, Huston. 1999. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Sukidi. 2001. New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama.
Gramedia: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar