Zelikha:
Musa ....
Musa:
yaa
Zelikha:
when u met Initial A , hows yer
feelin?
Musa:
kinda weird
Zelikha:
really?
Musa:
coz i love his lover
Musa:
:)
Zelikha:
hihi ...
Musa:
when u meet him how u feel?
Zelikha:
biasa aja
Zelikha:
i dont pay attention much on him ...
Zelikha:
my eyes on you
Musa:
really..?
Musa:
:) hihi
Dia berlari kecil mengejar waktu yang sempit di antara segala deadline
pekerjaan. Sekedar sapaan cukup buatnya. Tapi yang sekedar itu membuatnya lupa
kalau dia sudah ada yang punya. Kalau dia milikku. Perlahan dia melepas ikatan
perak di jarinya dan menggantungnya di sebuah paku di kamarnya. Dengan harapan
kalau dia keluar masuk kamar, dia setidaknya masih ingat kalau dia sudah ada
yang punya. Tapi tidak, lambat laun dia keluar masuk kamar tanpa merasa bahwa dia
menggantung sesuatu di sebuah paku di pintunya. Hingga kemudian hari paku itu
terlepas beserta perak yang melingkar di jarinya. Kini, tak ada sesuatu yang
melingkar di paku atau jari manisnya.
Tapi ku tidak pernah menanyakan hal itu. Paku dan perak yang
melingkarinya tidak pernah menjadi bahasan. Dia mulai membahas Doa Malaikat
Jibril – sebuah bahasan yang tidak pernah kita bahas sebelumnya. Dia bertanya
apakah aku tahu mengenai doa itu. Dan ketika kujawab tidak, ‘dia melihat
kembali ke telepon genggamnya.’ Kadang kesunyian adalah jawaban terbaik atas
sebuah percakapan. Bagaimana tidak, aku tak pernah berurusan dengan Doa Malaikat Jibril. Tapi …
tunggu dulu … Ku teringat sesuatu. Pernah suatu hari aku dan dia pergi menjumpai
seseorang, sebut saja namanya pak Kaji. Dia memberikan doa Malaikat Izrail
padaku. Dia bilang, ‘dibaca selepas sembahyang, 9 kali dihadapan secawan air,
minum airnya dan untuk wudhu, setiap hari. Agar terlepas apa yang terjadi oleh
orang-orang sebelummu tidak menimpa dirimu. Energimu kuat, kamu pasti bisa.’ Tapi
aku tidak membaca Doa Malaikat Izrail. Apalagi mengenal doa Malaikat Jibril. Ini
salahku.
Salahku juga, saat kutemukan bau busuk dari sakunya, sebuah nama dan
alamat; aku menyerah dan mengalah. Tidak bisa kupercaya, di tahun yang sama
saat aku tidur di meja belajarnya dan dia tidur di sofaku, ditahun yang sama
pula dia menitipkan hatinya ke orang lain.
‘Kau tidak suka sofa yang biasa menemanimu nonton film?’
‘ …. ’ dia terdiam
‘Lantas kenapa kau bilang kau cinta mati pada sofa itu?
Kenapa? Kita sekarat aja belum kenapa kau bilang cinta sampai mati? Sekarang,
hatiku yang mati.’
Matinya sebuah hati adalah saat kita mengira kita benar-benar bahagia
dan dunia milik kita berdua; padahal milik mereka berdua. Kadang kesunyian
adalah jawaban terbaik saat hati mati.
Dan kembalilah aku ke Musa – kesunyianku.
Asyik dan menentramkan tulisan-tulisannya mbak Aida :)
BalasHapusHehehe..
makasih :)
Hapusaku ditarik oleh mu