Menerjemahkan Lovecraft berarti mempertemukan pembaca kita dengan paradoks itu: antara kebencian kecil seorang manusia dan cakrawala agung seorang pemimpi kosmik. Dengan membawanya ke dalam bahasa kita, kita tidak hanya menghadirkan teks, tetapi juga membuka dialog, tentang horor, tentang sejarah, tentang kemanusiaan, dan tentang bagaimana sastra selalu lahir dari cahaya dan bayangan sekaligus.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam penerjemahan ini. Pertama adalah kesetiaan pada kalimat panjang Lovecraft. Bahasa Indonesia umumnya lebih condong pada struktur ringkas, tetapi justru kepanjangan dan kerumitan kalimat lah yang membuat Lovecraft mampu menghadirkan rasa tercekik, rasa tak berdaya di hadapan sesuatu yang lebih besar dari nalar. Maka, alih-alih memotong, saya berusaha menjaga ritme itu tetap bergulir, sembari menyesuaikan diksi agar tetap terbaca alami.
Kedua, pilihan istilah yang sesuai dengan zamannya. Lovecraft menulis di awal abad ke-20, ketika istilah seperti packet (kapal dagang/penumpang) atau supercargo (perwira pengurus muatan) masih lazim. Alih-alih menggantinya dengan istilah modern, saya memilih mempertahankan nuansa historisnya. Dengan begitu, pembaca bukan hanya membaca cerita, tetapi juga merasakan aroma zaman yang melahirkannya.
Ketiga, menjaga esensi horor kosmik. Horor Lovecraft bukan horor darah atau teriakan, melainkan horor karena tak adanya nama, tak adanya bentuk yang bisa kita pastikan. Karena itu, saya berusaha tidak menerjemahkan terlalu konkret. Kata-kata seperti nameless saya biarkan tetap samar, tetap absurd, agar pembaca ikut merasakan apa yang dimaksud Lovecraft sebagai sesuatu yang “tak terperikan.”
Keempat, suasana arkais dan muram. Kata-kata pilihan seperti jurang, kekacauan, hamparan, tak terlukiskan, mengerikan dipilih bukan sekadar karena tepat, tetapi juga karena membawa pembaca pada nada gotik dan kuno yang memang menjadi rumah bagi Lovecraft.
Kelima, ritme dan atmosfer. Lovecraft selalu menumpuk klausa demi klausa, menunda kepastian, dan menekan pembacanya dengan jeda yang panjang. Tugas penerjemah bukan sekadar memindahkan makna, melainkan menjaga tekanan itu agar pembaca Indonesia pun merasakan bagaimana sebuah kalimat bisa berubah menjadi semacam labirin yang memerangkap.
Akhirnya, menerjemahkan Dagon adalah belajar menjadi juru kunci yang tugasnya bukan Cuma saja menjaga keasingan teks, tetapi sekaligus membukanya bagi pembaca. Ia menuntut keseimbangan antara kesetiaan historis dan keluwesan modern, antara teks dan atmosfer. Seperti naratornya dalam kisah Dagon ini yang terombang-ambing antara waras dan gila, penerjemah pun harus rela berjalan di antara terang bahasa kita dan gelap kata-kata Lovecraft agar pembaca bisa ikut merasakan betapa dalamnya laut dan betapa mengerikannya sesuatu yang merayap di dasarnya.
Sebagai catatan tambahan, Dagon (ditulis tahun 1917, pertama kali terbit pada 1919) menempati posisi penting dalam perkembangan awal Lovecraft. Di sinilah untuk pertama kalinya tema besar horor kosmik tentang makhluk purba yang lebih tua dari manusia dan lebih besar dari agama muncul ke permukaan. Monolit, lautan, dan dewa ikan yang mengintai di balik gelombang menjadi cikal bakal bagi mitologi Lovecraft yang kelak lebih matang dalam The Call of Cthulhu dan karya-karya lain. Dengan demikian, penerjemahan Dagon ke dalam bahasa Indonesia bukan sekadar menghadirkan cerita pendek, melainkan memperkenalkan pembaca pada akar dari seluruh imajinasi gelap yang disebut sebagai Cthulhu Mythos.
=====
D A G O N
Aku menulis ini semua di bawah tekanan jiwa yang nyaris tak tertahankan, dan menjelang malam aku akan musnah. Tanpa sepeser uang dan perrsediaan obat terkutuk yang menipis – obat ini adalah satu-satunya penopang yang membuat hidup masih sanggup kujalani, aku sudah tak kuasa lagi menanggung siksaan ini. Harusnya kulemparkan tubuhku ini dari jendela loteng ke jalan kumuh di bawah sana. Meski aku menghamba pada morfin, jangan kau mengira kalau aku seorang pengecut atau manusia hina. Setelah kau membaca lembaran yang kutoreh dalam resah dan tergesa, mungkin kau akan menduga, meski kau takkan pernah memahami, mengapa aku hanya bisa memilih antara lupa ingatan atau mati.
Peristiwa itu bermula di salah satu sudut lautan Pasifik yang luas dan nyaris tak terjamah, ketika kapal tempatku bekerja sebagai superkargo jatuh ke tangan pelaut Jerman. Saat itu perang besar baru saja meletus; angkatan laut kaum Hun belum sepenuhnya terperosok dalam kebiadaban yang kelak akan mereka perlihatkan. Kapal kami dianggap rampasan yang sah, dan kami—para awak—diperlakukan dengan cukup wajar, layaknya tawanan perang di lautan. Bahkan penjagaan para penawan begitu longgar, hingga lima hari setelah penangkapan aku berhasil kabur sendirian dengan sebuah sekoci kecil, lengkap dengan persediaan air dan makanan yang cukup untuk bertahan lama.
Saat diriku terombang-ambing bebas di lautan, aku nyaris tak tahu dimana diriku tengah berada. Aku tak pernah menjadi juru mudi yang cakap; aku hanya bisa menebak dengan samar lewat matahari dan bintang-bintang bahwa kiranya aku berada di selatan khatulistiwa. Aku juga tak paham tentang apa itu garis bujur, sejauh mata memandang, tak ada satu pulau atau garis pantai yang nampak. Beruntung cuaca tetap bersahabat, meski selama berhari-hari yang tak terhitung aku terombang-ambing tanpa tujuan di bawah terik matahari yang membakar; menunggu sebuah kapal yang entah lewat atau tidak, atau berharap agar arus melemparkan diriku ke tepian daratan tak berpenghuni. Namun tiada kapal, tidak pula tanah menjelang, dan aku pun mulai putus asa dalam kesendirianku di atas laut biru yang luas dan tak ter berujung.
Namun segalanya berganti saat aku terlelap. Rincian getirnya takkan pernah kuketahui; sebab tidurku yang meski kerap diganggu mimpi-mimpi gelisah dan penuh bayangan, berlangsung tak kunjung usai. Saat akhirnya terjaga, aku mendapati diriku tengah terbenam dalam hamparan berlendir—rawa hitam nan mengerikan—yang membentang di sekelilingku dengan riak yang berulang-ulang seluas cakrawala pandangan, dan kulihat di seberang jauh, perahuku terdampar.
Orang pasti mengira kalau aku bakal takjub dan kagum saat aku terdampar ke tempat yang besar dan tak terduga ini, tapi aku lebih merasa tercekam dan ngeri ketimbang terpesona; sebab di udara dan di tanah yang membusuk itu ada suatu yang jahat yang membuatku menggigil hingga ke sumsum. Wilayah itu dipenuhi bangkai ikan yang mereput, dan benda-benda lain yang menjijikan yang sebaiknya tidak kulukiskan dalam kata-kata, yang mana benda itu menjulur keluar dari lumpur busuk di dataran tak bertepi. Aku harap aku tidak harus menyampaikan kengerian yang tak terperikan ini dengan kata-kata, karena akan meciptakan kesunyian mutlak dan kegersangan yang tak berujung. Tak ada suara yang bisa kudengar, tak ada sesuatu di depan mata selain hamparan lumpur lendir hitam yang tak berujung; namun justru kesunyian yang sempurna dan wajah alam yang seragam satu rupa yang menyelimutiku membuatku tertekan oleh rasa takut yang memuakkan dan membuat mual.
Nyala matahari di langit tampak hitam legam bagiku, seakan memantulkan rawa hitam di bawah kakiku. Saat aku merangkak kembali ke perahu yang terdampar, aku sadar hanya ada satu teori yang bisa menjelaskan keadaanku. Ini bisa jadi ulah sebuah guncangan vulkanik yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana sebagian dasar lautan pasti terangkat ke permukaan, kemudian tersingkaplah wilayah yang selama berjuta-juta tahun yang tersembunyi di bawah kedalaman air yang sangat dalam. Begitu luasnya tanah baru yang muncul di bawahku, hingga tak kudengar sedikit pun gemuruh lautan, betapapun kupaksa telingaku. Tak tampak pula burung laut untuk memangsa bangkai-bangkai itu.
Selama beberapa jam aku duduk termenung dalam perahu yang miring ke samping dan hanya memberi sedikit teduh saat matahari melintas di langit. Seiring berlalunya hari, tanah sudah tidak pekat dan lengket, dan tampak mengering dalam waktu singkat sehingga mudah untuk dilalui. Malam itu aku hampir tak bisa tidur, dan keesokan harinya kupersiapkan sebuah bungkusan berisi makanan dan air, sebagai bekal perjalanan darat untuk mencari laut yang tiba-tiba lenyap dan barangkali menemukan jalan keluar menuju keselamatan.
Pada pagi ketiga kutemukan tanah itu sudah cukup kering untuk dapat kulalui dengan mudah. Bau anyir ikan yang membusuk mengusik waras; namun aku tengah disibukkan oleh perkara yang jauh lebih besar dari sekedar kebusukan kecil semacam itu, maka aku pun melangkah berani menuju arah samar yang tak terjangkau. Seharian penuh aku berjalan ke arah barat, menatap sebuah gundukan yang menjulang lebih tinggi daripada tonjolan-tonjolan lain di gurun bergelombang itu. Malamnya aku berkemah, dan keesokan harinya aku masih juga bergerak ke arah gundukan itu, meski rasanya jarak tak berkurang sedikitpun sejak pertama kali kusaksikan. Menjelang senja hari keempat akhirnya ku capai kaki bukit, dan ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraanku semula. Aku sudah terlalu letih untuk mendaki, kemudian ku terlelap dibalik bayang-bayang bukit tinggi itu.
Aku tak tahu mengapa mimpiku malam itu demikian liar; namun sebelum bulan yang terbit tinggi di atas dataran timur itu mulai surut dan berbentuk aneh dengan kebulatannya yang tak wajar, aku sudah terbangun dengan peluh dingin, bertekad untuk tak lagi tidur. Penglihatan gaib yang kualami terlalu dahsyat, aku tak sanggup menanggungnya. Dan dalam cahaya bulan itu kusadari betapa bodohnya aku melakukan perjalanan di siang hari. Tanpa silau matahari yang membakar, perjalananku tentu akan jauh lebih sedikit menguras tenaga; bahkan kini aku merasa cukup kuat untuk melakukan pendakian yang sebelumnya kuhindari saat matahari terbenam. Maka kuangkat kembali buntalanku, dan aku pun mulai menapaki lereng menuju puncak ketinggian itu.
Gerakan gelombang yang monoton dan tak terputus dari dataran itu menjadi kengerian yang samar bagiku; dan kengerian itu mencapai puncaknya ketika akhirnya kudaki puncak bukit dan memandang ke sisi lain, ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam, yang sudut-sudut hitamnya belum dijangkau cahaya bulan. Aku merasa seakan berada di tepi dunia; menunduk di ujung kekacauan tanpa dasar dalam malam abadi. Rasa ketakutanku bergema akan kenangan samar akan Paradise Lost, tentang pendakian yang mengerikan oleh Sang Iblis melewati ranah gelap yang belum terbentuk.
Saat bulan merayap makin tinggi di langit, perlahan kulihat bahwa lereng lembah itu tak sepenuhnya tegak lurus seperti yang kupikirkan. Tebing dan tonjolan batu menyediakan pijakan yang cukup mudah untuk turun, dan setelah jatuh beberapa ratus kaki, kemiringannya menjadi jauh lebih landai. Didorong oleh sebuah hasrat yang aku sendiri tak tahu apa itu, aku merayap dengan susah payah menuruni bebatuan itu, hingga akhirnya berdiri di lereng yang lebih aman di bawah, menatap ke kedalaman Stygian yang belum pernah disentuh cahaya apa pun.
Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah benda luas dan aneh di sisi lereng yang berlawanan, menjulang curam sekitar seratus yard di depanku; sebuah benda yang berkilau pucat dalam anugrah cahaya bulan. Benda itu mungkin hanya sebuah bongkahan batu raksasa yang punya kekuatan akan tapi tidak alami, bukan sepenuhnya kerja alam. Aku mengamatinya dari jarak dekat dan sensasinya tak terkatakan; benda itu memiliki ukuran yang besarnya luar biasa, dan meski posisinya berada di jurang yang usianya pun sudah purba, sejak awal dunia menganga di dasar samudra, aku tak ragu sedikitpun bahwa benda ganjil itu adalah sebuah monolit dengan bentuk sempurna, yang tubuh masifnya merupakan hasil karya dan mungkin juga pemujaan makhluk hidup yang berpikir.
Pening dan gentar, aku meneliti sekelilingku dengan lebih cermat, sayangnya tidak ada ketegangan yang nikmat layaknya seorang ilmuwan atau arkeolog. Sang Bulan kini hampir mencapai zenit, memancarkan cahaya aneh dan tajam di atas tebing-tebing menjulang yang mengepung jurang, menyingkapkan kenyataan bahwa di dasar sana ada hamparan air mengalir, meliuk hingga lenyap dari pandangan ke dua arah, hampir menyentuh kakiku saat aku berdiri di lereng itu. Di seberang jurang, riak-riak kecil menghantam dasar monolit siklop yang raksasa; hingga pada permukaannya kini dapat kulihat jejak tulisan dan pahatan kasar.
Tulisan itu berasal dari suatu sistem hieroglif yang sama sekali asing bagiku, tak menyerupai apa pun yang pernah kulihat dalam kitab-kitab; kebanyakan berupa simbol-simbol laut yang telah dibakukan: ikan, belut, gurita, krustasea, moluska, paus, dan semacamnya. Beberapa karakter lain menggambarkan makhluk laut yang tak dikenal oleh dunia modern, namun bangkai busuknya pernah kusaksikan membusuk di dataran yang terangkat dari samudra itu.
Ukiran gambar itu membuatku terpukau dan tercengang. Terlihat jelas di seberang air yang memisahkan kami, berjejer relief-relief besar yang kedahsyatannya mampu membangkitkan rasa cemburu seorang DorĂ©. Kupikir pahatan itu dimaksudkan untuk menggambarkan manusia—setidaknya menurutku, itu semacam manusia; makhluk-makhluk itu digambarkan berenang bebas seperti ikan di dalam gua laut, atau tengah memberi penghormatan di hadapan semacam kuil monolitik yang tampaknya juga berada di bawah ombak. Aku tak berani menceritakan detail wajah dan bentuknya, karena memikirkannya saja sudah membuatku lemas tak berdaya. Lebih grotesk dan melampaui daya khayal seorang Poe ataupun Bulwer; dan tetap saja, terkutuklah makhluk itu begitu menyerupai manusia dalam garis besarnya, meski tangan dan kaki mereka berselaput, bibir mereka menganga lebar serta lembek, mata mereka menonjol dan mengkilat, membelalak, dan ciri-ciri lain yang terlalu buruk untuk dikenang. Anehnya, pahatan itu tampak dipahat dengan proporsi yang menurutku aneh, sebab salah satu makhluk ditampilkan tengah membunuh seekor paus yang hanya digambarkan sedikit lebih besar dari dirinya. Aku mencatat, sebagaimana kukatakan, aku mencatat semua keganjilan bentuk mereka yang besar; namun segera kumantapkan dalam hati bahwa itu hanyalah dewa-dewa imajiner dari suatu suku primitif nelayan atau pelaut, suku yang keturunan terakhirnya telah punah beribu era sebelum nenek moyang pertama Manusia Piltdown atau Neanderthal lahir. Tersentak dan terpukau oleh penglihatan tak terduga akan sebuah masa lalu daya khayalnya melampaui antropolog yang paling gagah sekalipun, aku terdiam merenung, sementara bulan menebarkan pantulan-pantulan aneh ke atas kanal sunyi di hadapanku.
Lalu tiba-tiba aku melihatnya. Makhluk itu meluncur ke permukaan yang ditandai oleh pusaran, ia menampakkan diri di atas air gelap. Maha luas, menyerupai Polyphemus, dan menjijikkan, ia bergerak cepat bagaikan monster dalam mimpi buruk, ia melesat menuju monolit, melilitinya dengan lengan-lengan bersisik yang mengerikan, sementara kepalanya yang buruk rupa ia tundukkan, mengeluarkan serangkaian suara yang berpola dan berirama . Saat itulah kewarasanku lenyap.
Saat aku menuruni lereng dan tebing dengan panik, saat aku dengan gusar kembali ke perahu yang terdampar, aku ingat sedikit hal. Kala itu aku melantunkan nyanyian, dan tertawa aneh ketika tak sanggup lagi bernyanyi. Samar-samar teringat olehku akan badai besar yang terjadi setelah aku mencapai perahu; kemudian aku mendengar gelegar halilintar, bersama nada-nada lain yang hanya dilontarkan Alam pada saat-saat paling liar.
Saat aku lepas dari kegelapan, aku telah berada di sebuah rumah sakit di San Francisco; seorang kapten kapal Amerika yang menemukan perahu di tengah samudra membawaku ke rumah sakit. Saat tak sadarkan diri aku mengigau banyak sekali, namun mereka tak menganggap kata-kataku sebagai hal penting. Para penyelamatku sama sekali tak tahu-menahu tentang kejadian tanah yang terangkat di Pasifik; dan aku pun tak memaksa mereka untuk mempercayai apa yang telah kualami. Pernah sekali aku mencari seorang ahli etnologi ternama, dan menghiburnya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang legenda kuno bangsa Filistin mengenai Dagon, Dewa Ikan; namun segera kusadari ia terlalu konvensional untuk memahami, dan aku tak melanjutkan penyelidikan itu.
Saat bulan merosot dan bentuknya yang ganjil dan cembung, di malam ini, Saat itulah aku melihat kembali makhluk itu. Pernah kucoba menundukkan kegilaanku dengan morfin; tetapi obat itu hanya memberi kelegaan sejenak, lalu menyeretku lebih dalam ke perbudakan yang tak tertebus. Maka kini akan ku akhiri semuanya, setelah menuliskan catatan yang penuh ini, entah untuk jadi informasi, atau hanya bahan cemooh sesama umat manusia.
Sering kutanya pada diriku sendiri: mungkinkah semua ini hanyalah fantasm semata—sekadar halusinasi saat demam ketika aku terpanggang matahari dan meracau di atas perahu setelah melarikan diri dari kapal perang Jerman? Pertanyaan itu kerap kuajukan, namun selalu ada bayangan menjawab, sebuah penglihatan yang begitu hidup dan mengerikan. Aku tak mampu membayangkan lautan yang dalam tanpa gemetar, membayangkan segala sesuatu yang tanpa nama (nameless thing) yang mungkin kini sedang merayap dan bergelut di dasar lendirnya, tengah menyembah berhala batu purba mereka, mengukir rupa-rupa menjijikkan mereka sendiri pada obelisk bawah laut dengan granit yang lembab.
Aku bermimpi tentang suatu hari dimana ketika mereka akan bangkit dari atas gelombang, mencengkeram sisa-sisa umat manusia yang lemah dan letih akan perang dengan cakar busuk mereka, tentang hari ketika daratan tenggelam, dan dasar samudra yang gelap terangkat, diiringi hiruk pikuk jagad raya.
Ajal merapat, kiamat mendekat. Kudengar suara di pintu, seolah tubuh raksasa yang licin sedang merayap dan menghantamnya. Ia tak boleh menemukanku. Ya Tuhan—tangan itu!
Jendela!
Jendela!
***
Catatan Kaki untuk Dagon
Packet
→ ini adalah Istilah lama untuk kapal dagang atau kapal penumpang yang berlayar secara reguler, biasanya mengangkut kargo, suratsurat, dan penumpang.Supercargo
→ pada zaman nya penulisan cerita, ini adalah Perwira khusus di kapal dagang yang bertanggung jawab atas muatan, perdagangan, dan kepentingan pemilik barang. Bukan pelaut, melainkan pengurus kargo.Cyclopean
→ Mengacu pada arsitektur batu besar bergaya “siklopik” yang disebut oleh penulis kuno (misalnya di Yunani), terdiri atas balok-balok raksasa yang seolah-olah hanya bisa dibangun oleh makhluk raksasa. Lovecraft sering memakai istilah ini untuk menekankan kesan purba dan non-manusia.Paradise Lost
→ Puisi epik karya John Milton (1667) tentang jatuhnya manusia dan pemberontakan Satan. Narator membandingkan jurang kegelapan yang ia lihat dengan gambaran perjalanan Satan melewati kekacauan dalam karya ini.Polyphemus
→ Raksasa bermata satu (Cyclops) dalam mitologi Yunani, muncul dalam Odyssey karya Homer. Disebut untuk menggambarkan betapa raksasanya makhluk yang muncul dari laut.Dagon
→ Dewa kuno bangsa Filistin dan Siria, kerap digambarkan sebagai dewa ikan atau dewa kesuburan laut. Dalam teks ini, Lovecraft mengaitkannya secara imajiner dengan makhluk laut purba yang disembah oleh bangsa non-manusia.Piltdown Mans
→ Fosil manusia purba yang diumumkan pada tahun 1912 di Inggris, kemudian terbukti sebagai rekayasa. Saat Lovecraft menulis Dagon (1917–1919), Piltdown Man masih dianggap temuan antropologi penting. Menyebutnya adalah cara Lovecraft menekankan bahwa makhluk dalam pahatan lebih tua daripada manusia purba mana pun.