Jumat, 31 Mei 2013

Mermaids: ketika kenyataan menggigit, dan kita terbangun, 'Oh ini cuma mimpi'

Tanggal 29 Mei kemarin lihat acara Animal Planet, tentang Mermaids The Body Found dan Mermaids the New Evidence. Kedua film yang berhubungan ini menyuguhkan bukti-bukti footage adanya Mermaids atau putri duyung; dalam hal ini tidak hanya female, tapi juga male. 


Video youtubenya bisa di saksikan di: 


dan 


Kalau lihat acara seperti ini, ada baiknya kita mengosongkan kepala kita dengan segala prasangka dan menerima mentah-mentah untuk kemudian dicerna, diamati, sehingga bisa melihat lebih terang apakah ini hoax atau bukan. 

Masalah Mermaids sudah lama menjadi pembicaraan, tapi kenapa baru sekarang mencuat lagi? apakah ada pengalihan isu? penemuan mermaids ini menyebar dari Israel, Greenland Sea hingga Afrika. Pembicara satu dengan yang lain bisa jadi tidak saling mengenal, tapi bisa jadi seolah tidak saling kenal. Kita tidak tahu pasti. Setelah kisah Sandy Hook, yang terlihat jelas sekali aktor aktor bayaran itu memerankan peranannya dengan serius, maka melihat yang seperti ini, hati ku pun sempet ragu. Jangan-jangan ini permainan politik saja. Tapi, kalau melihat bukti-bukti yang beraneka ragam dan dari berbagai macam orang rasanya susah untuk dibilang sebagai hoax. Ada saat dimana nelayan di belahan negara lain bercerita tentang saat dia memancing dan mendapatkan ikan yang lebih dulu sudah terpanah tombak di badannya, dan dia pun sempat mengabadikan foto mermaids tersebut. Lagi, bisa jadi ini buatan :( 

Sejauh ini, karena belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri, ku cuma bisa terkagum dengan segala bukti yang ada. Ku hanya mendapati makhluk ini dalam mimpi (Mimpi VasDev). Realitanya: kusimpulkan bahwa aku percaya adanya. Aku lebih suka mempercayai Mermaids yang hoax daripada masalah Sandy Hooks atau Bom Bawah Tanah Iraq yang hoax. Buatku lebih menyejukkan jika percaya makhluk mithical seperti griffin ketimbang membuat Tank Merkaba dan melindasi umat manusia. 

Pengalihan isu atau bukan, tetap menyenangkan jika membayangkan makhluk seperti itu benar-benar ada. Jadi mimpiku bisa menjadi kenyataan. Dan kutidak keberatan kalau dibilang kurang kerjaan atau pandir sekalipun. Demi faith, trust and pixie dust!

Rabu, 29 Mei 2013

Kadang kesunyian ...

Zelikha: Musa ....
Musa: yaa
Zelikha: when u met Initial A , hows yer feelin?
Musa: kinda weird
Zelikha: really?
Musa: coz i love his lover
Musa: :)
Zelikha: hihi ...
Musa: when u meet him how u feel?
Zelikha: biasa aja
Zelikha: i dont pay attention much on him ...
Zelikha: my eyes on you
Musa: really..?
Musa: :) hihi


Dia berlari kecil mengejar waktu yang sempit di antara segala deadline pekerjaan. Sekedar sapaan cukup buatnya. Tapi yang sekedar itu membuatnya lupa kalau dia sudah ada yang punya. Kalau dia milikku. Perlahan dia melepas ikatan perak di jarinya dan menggantungnya di sebuah paku di kamarnya. Dengan harapan kalau dia keluar masuk kamar, dia setidaknya masih ingat kalau dia sudah ada yang punya. Tapi tidak, lambat laun dia keluar masuk kamar tanpa merasa bahwa dia menggantung sesuatu di sebuah paku di pintunya. Hingga kemudian hari paku itu terlepas beserta perak yang melingkar di jarinya. Kini, tak ada sesuatu yang melingkar di paku atau jari manisnya.

Tapi ku tidak pernah menanyakan hal itu. Paku dan perak yang melingkarinya tidak pernah menjadi bahasan. Dia mulai membahas Doa Malaikat Jibril – sebuah bahasan yang tidak pernah kita bahas sebelumnya. Dia bertanya apakah aku tahu mengenai doa itu. Dan ketika kujawab tidak, ‘dia melihat kembali ke telepon genggamnya.’ Kadang kesunyian adalah jawaban terbaik atas sebuah percakapan. Bagaimana tidak, aku tak pernah  berurusan dengan Doa Malaikat Jibril. Tapi … tunggu dulu … Ku teringat sesuatu. Pernah suatu hari aku dan dia pergi menjumpai seseorang, sebut saja namanya pak Kaji. Dia memberikan doa Malaikat Izrail padaku. Dia bilang, ‘dibaca selepas sembahyang, 9 kali dihadapan secawan air, minum airnya dan untuk wudhu, setiap hari. Agar terlepas apa yang terjadi oleh orang-orang sebelummu tidak menimpa dirimu. Energimu kuat, kamu pasti bisa.’ Tapi aku tidak membaca Doa Malaikat Izrail. Apalagi mengenal doa Malaikat Jibril. Ini salahku.

Salahku juga, saat kutemukan bau busuk dari sakunya, sebuah nama dan alamat; aku menyerah dan mengalah. Tidak bisa kupercaya, di tahun yang sama saat aku tidur di meja belajarnya dan dia tidur di sofaku, ditahun yang sama pula dia menitipkan hatinya ke orang lain.

‘Kau tidak suka sofa yang biasa menemanimu nonton film?’
‘ …. ’ dia terdiam
‘Lantas kenapa kau bilang kau cinta mati pada sofa itu? Kenapa? Kita sekarat aja belum kenapa kau bilang cinta sampai mati? Sekarang, hatiku yang mati.’

Matinya sebuah hati adalah saat kita mengira kita benar-benar bahagia dan dunia milik kita berdua; padahal milik mereka berdua. Kadang kesunyian adalah jawaban terbaik saat hati mati.

Dan kembalilah aku ke Musa – kesunyianku. 

Senin, 27 Mei 2013

Diari Mimpi: 28 Mei 2015

sepertinya aku bertemu dengan Jeremy lagi. saat itu aku tengah berlari menuruni anak tangga sebuah gedung besar. dia memanggil namaku, lirih, 'Aida ...'
aku berhenti dan menoleh ke asal suara, dia berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, 'Ya?'
ia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun dan berjalan menuruni anak tangga, seolah menemaniku turun. hingga habis anak tangga dan berjalan di sebuah hall yang panjang, baru dia berkata, 'tak temenin pulang ya?'
sejenak aku mau komentar kalau aku suka logatnya tapi ku urung niat dan ia mengangguk. dan kita berjalan sampai tutup mimpi dan berpindah tempat, tapi tak ada Jeremy lagi.
saat itu dia pake kaos putih bercorak abstrak warna kuning, celana jeans dan sepatu kets, dan memakai sebuah kalung rantai yang di masukkan ke dalam kaosnya. Hhhh ... seandainya tadi aku tanya itu kalung apa khan ga penasaran spt ini ...

EARTHLINGs --

EARTHLINGS -2005 ==> Ini LINK YOUTUBE full movie 

Ku mengalami kesusahan untuk menyelesaikan menonton film ini. Menit pertama, hati sudah miris teriris-iris. Menit selanjutnya sudah mulai tidak nyaman: rasanya kepala ini menanggung dosa seluruh umat manusia dari nabi Adam hingga sekarang tanggal 27 Mei 2013. Jadi ubun-ubunku berat sekali. 'Along with the mead, the blood will be use aswell" dan sebuah sapi tergantung terbalik, disayat leher tapi tidak mati untuk diambil darahnya dulu. Bukan seperti itu membunuh ternak yang arif. Bunuh dengan cepat dan bacalah mantra semoga arwahnya tenang dan raganya bermanfaat. 

Bukannya dilarang untuk makan daging. Meski aku lebih suka vegan. Tapi jangan perlakukan calon makanan kita dengan tidak baik. Mereka punya jiwa, menangis dan berteriak. Dan babi-babi itu tidak pantas untuk menerima sumpahserapah apapun! Ini sudah berlebihan bahkan aku terbata-bata untuk menyelesaikan tulisan. Semua tertunda oleh air mata ... 

Minggu, 26 Mei 2013

:: Gaia Theory and Catastrophes :: (AidaVyasa, 2007)

Behind the Catastrophes: A Gaian Perspective


Father Father Father help us. Send some guidance from above. Cause people got me questioning. Where is the love?

-“Where is the love?” Song lyrics  By The Black Eyed Pea-

Introduction
            As we gather in the discussion room talking about religions, ethics, disasters, and its hidden connection, many people out there live in a stressful conditions due to catastrophes and other calamities. I remember the song from The Black Eyed Pea, “What’s wrong with the world mama? People living like aint got no mamas … Nations dropping bombs, chemical gases filling lungs of little ones, with ongoing suffers, the wars going on but the reasons undercover, … where’s the love y’all?” It is kind of questions we questioning many times in many places in this wide world. Let us say the nearest disasters such as the 2004 Indian Ocean earthquake and tsunami, the 2006 Yogyakarta earthquake, flooding in Sumatra, the ongoing mud flows in Sidoarjo, East Java, and many conflicts in Indonesia nowadays. Not just in Indonesia, but many places in the world. The ecological crises we are facing now are happening global – if not universal. Moreover, the crises are so huge and not only science or technology but no single government/community would be able to solve them alone. Furthermore, there is a fact that religion has close relationship with environment, and it has their own language with difference system of theology, beliefs, ritual, and ethics. These are premises which had been agreed.  
In his new book, Menuai Bencana, Agus Mustafa questioned why disaster happened upon mankind? And as the list of disasters forced us to interpret the meaning of its coming, it never stops its running. People tend to question the just of God, the problem of evil, and the connection between.
“Kenapa bencana datang beruntun kepada kita? Apa salah kita? Apa dosa kita? Bukankah bangsa ini berpenduduk mayoritas umat Islam? Bukankah dasar Negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa? Bukankah di sini banyak orang pergi haji, yang setiap tahunnya tidak kurang dari 200 ribu orang?”[1]
Human started to think that God was behind the tsunami, or they blame themselves as a destructor of the Earth, or they think that it’s the way of how the nature works. John Campbell Nelson in his article, Religion and Disaster, emphasized as a matter to human misery whether disaster came from natural causes, human error or political intrigue.[2] Hinduism and Buddhism had karma to explain unpleasant events, while monotheistic religions see things as blessing, punishment, vengeance, or call for repentance. Basically, both myth and religion had similarity in describing wrath and blessing as a form of an angered ancestors, gods, and spirits.
Furthermore, step by step such stories replaced by science and modernity and many events interpreted scientifically. In his book, Magic, Science, and Religion, Malinowski stated that myth and magic has been used as a way to knowing science and religion. For example in the case of earthquake, some myth will explain by the moving of giant animals beneath the earth which shaking the ground and earthquake happened. And for quite sometime after, it replaced by plate tectonics and the idea of judgment day.
By the end of his article, John Campbell Nelson gives comment, “May God bless the millions of survivors of disaster in Indonesia who may well feel they have been cursed”; and this may seem that there are no hidden connection between God, human and nature. In this paper, I will try to describe what catastrophes from Gaian perspective are. This writing has purpose: to interpret disaster, catastrophes, providing a Gaian framework within mankind – the survivors of disasters can seek meaning of unfortunate events they had. But at first, I will give a short explanation about the meaning of Gaia Hypothesis.

What is Gaia?
In popular culture, Gaia is known better in New Age community because this theory is sound so romantic. Many still take the live Earth concept of Gaia as a poetic or spiritual metaphor rather than as a scientific reality. When it was popularized in the late 1970s the response was much varied and interesting. Gaia attracted a few scientific supporters, and many opponents. Gaia drew quasi-religious devotion from some environmentalist and from prophets of New Age ideas. It has been attacked not only for being unscientific, but as antihuman polemics, green politics, industrial apologetics, and even as non-Christian ecological Satanism, a religious cult or a new way of knowing.[3] We can see the description in animation movie, Final Fantasy: the Spirit Within, where this theory has deep impact in the world of science fiction also. And of course a little bit of world religion, especially for indigenous religion and paganism. In this animation movie, there was a nice conversation which described how two scientists see this hypothesis.  
+ “I mean ….”
- “Do you mean the spirit of the Earth?”
+ “Yes, spirit of the Earth.”
- “This is crazy, doctor. With respect, are you coming here to talk about this Gaia theory? And saying that this planet is alive? It has spirit? It’s not fairytale. I’m sorry but we have no time to …”
+ “It’s not just fairytale. This is reality …”
- “Oh …so if I pointed a gun to the Earth and shoot, then I’m not just making hole the Earth, but I kill it also?”
* “Dr. Sid,The Gaia Theory has not proven yet”
And the movie continue with Dr. Sid’s explanation about energy related with Gaia theory.

Gaia is both a religious and a scientific concept. Theology is also a science, but if it is to operate by the same rules as the rest of science, there is no place for creeds or dogma. Lovelock emphasized that theology should not state God’s existence. Like the way he said: ‘What would the universe be like without God?’[4] We will discuss more about God and Gaia later when we discuss about more deep about Gaian perspective over disasters and catastrophes.
Actually, Gaia or Gea (the Roman form), was an earlier name for our planet than Earth. In Greek, our planet has always been called Gaia or Ge, which we see in English such as geology, geometry, and geography. The story of Gaia's dance begins with an image of swirling mist in the black nothingness called Chaos by the ancient. In the myth it is the dancing goddess Gaia, swathed in white veils as she whirls through the darkness. As she becomes visible and her dance grows ever more lively, her body forms itself into mountains and valleys; then sweat pours from her to pool into seas, and finally her flying arms stir up a windy sky she calls Ouranos – stil the Greek word for sky –which she wraps around herself as protector and mate.[5] This is the myth.
In ancient times, belief in a living Earth is the same with belief in living cosmos. Heaven and Earth were close and part of the same body. The invention of telescope and Big Bang had change mankind’s point of view in seeing Universe since the place of God hides behind the magnificent of the theory.[6]
Gaia theory was created by scientist and chemist, Sir James Lovelock, who developed his theories in the 1960s before formally publishing them, first in the New Scientist (February 13th, 1975) and then in the 1979 book, Quest for Gaia. He hypothesized that the living matter of the planet functioned like a single organism and named this self-regulating living system after the Greek goddess, Gaia, using a suggestion of novelist William Golding.[7]
According to Lovelock, Gaia is a complex entity involving the Earth's biosphere, atmosphere, oceans, and soil. He emphasized the importance to make conditions on the planet more hospitable. Lovelock suggested that life on Earth provides a cybernetic, homeostatic feedback system operated automatically and unconsciously by the biota, leading to broad stabilization of global temperature and chemical composition.[8] Here we can see that everything in the Earth is working automatically because of the Earth has her own will to live.
The concept of Gaia is entirely linked with the concept of life. To understand what Gaia is, therefore, we need to explore the concept of life. Lovelock stated that we have lost the instinctive understanding of what life is and of our place within Gaia. He illustrated that life are much in the stage of the drunkard’s walk where it is more like a self-organizing Universe. Gaia is the largest ecosystem. When Lovelock come in his reading about What is Life? By Schrodinger, he realized that planetary life was revealed by the contrast between the near-equilibrium state of the atmosphere of a dead planet and the exuberant disequilibrium of the Earth.[9] To question ‘What is life?’ is certainly needed. Gaia is the largest manifestation of life which made up from four components:[10]
  1. Living organisms that grow vigorously, exploiting any environmental opportunities that open
  2. Organisms that are subject to the rules of Darwinian natural selection: the species of organisms that leave the most progeny survive.
  3. Organisms that affect their physical and chemical environment. Thus animal change the atmosphere by breathing. Plant and alga do the reverse.
  4. The existence of constraints or bounds that establish the limits of life.

Lovelock stressed that Gaia theory has a planetary perspective. The most important is the health of the planet rather than some individual species of organisms. He stated, “The health of the earth is most threatened by major changes in natural ecosystems. Agriculture, forestry, and to a lesser extent fishing are seen as the most serious sources of this kind of damage with the increase of the greenhouse gases, carbon dioxide, methane, and several others.”[11]
In one of the chapter of this book, The Ages of Gaia, James Lovelock explained the relationship of God and Gaia – it was merely more talking about himself rather than the subjects – the Gaia Hypothesis.[12]

In his book, The Ages of Gaia, Lovelock stated:
“I am scientist and do not have faith, but neither am I the counterpart of those with faith, an atheist … it takes a lot of hubris to imagine that we can ever reach the limits of our own intelligence; to think that we will ever be able to explain everything about the universe is absurd. For these reasons I am equally discomfort by religious faith and scientific atheism.”[13]

Again he stated:  
“I am happy with the thought that the Universe has properties that make the emergence of life and Gaia inevitable. But I react to the assertion that it was created with this purpose. It might have been; but how the universe and life began are ineffable questions.”[14]

The concept of Earth in Gaian perspective or James Lovelock idea is that Gaia is manageable. He stated that there is no other life in this Solar System, and the nearest star is utterly remote. And to know about the concept is to know about the maker of the concept. Lovelock stated again that in his belief, God rests at the stage of a positive agnosticism.
Gaia can be both spiritual and scientific and deeply satisfying. Gaia is a sentient being, a surrogate God. As a scientist, Lovelock believes that Nature is objective and not predetermined.[15] Here we can see how scientific Gaia is, though some scientist still doubt about it.


Gaian Perspective seeing Catastrophes
Ruether asked such question in her ‘Introduction’ page of her book, God and Gaia: “Are Gaia – the living and sacred earth, and God – the monotheistic deity of the biblical traditions, on speaking terms with each other?”[16] The term Gaia has caught on among those seeking a new ecological spirituality as a religious vision. Gaia is seen as a personified being, an immanent divinity.[17] If we consider Earth as living organism, it means that we consider Earth as God’s creation and she has their own destiny, fate and wills; and of course she ‘worships’ God the Creator also. Then how come mankind – in the name of religion, myth and technology rape her for the sake of their own. If it is the situation, then it has already described in the animation movie, Final Fantasy: the Spirit Within, if a person shoot the Earth with deadly weapon, it will not only making holes, but it also kill it. This illustration can be use to describe the reason why many catastrophes happened.
The catastrophes consist of: population and poverty, food producing for human population, the problem of energy, climate and pollution, forest destructions extinction, and war. From here we see evil things happened to the Earth. The myth has seen world destruction as divine judgment on human evil. Here we can divide that there are two disasters: natural disaster and unnatural one. Earthquakes consider as natural event which happen because the mountains, the land, the Earth is moving. While floods, global warming, dramatically climate change consider as unnatural even which happened because of human. Mankind as the ruler of the Earth has involves in many unnatural disasters in the Earth such as the upcoming issue: global warming. And Gaia sees this as thing to be concerned of by giving positive energy to the Earth and stop the Global Warming by stop doing things that can increase the effect of the green house gases.
Not so many scientists in Indonesia ever speak about Gaia in a scientific forum, though Gaia Hypothesis knows from Capra’s book, The Web of Life which has been translated into Indonesian. Capra in his book speaks about the benefit of knowing Gaia Theory related to understanding about disaster. The theory brought us to understand about the connection between the living planet, the plants, microorganism, animals, rocks, seas, atmosphere, and many other things. For example as it said in Capra’s book that Volcano eruption spread many CO2 and this is very hot. Plants and animal neutralized the air and this can be seen that there is live from the death and lively.
Lovelock idea about pain and suffering:
Third World, and our near-obscene obsession with death, suffering, and pain as if these were evil in themselves – these thoughts divert the mind from our gross and excessive domination of the natural world. Poverty and suffering are not sent; they are the consequences of what we do. Pain and death are normal and natural; we could not long survive without them.[18]

Very interesting, Lovelock mention about ‘catastrophe theory’ or ‘strange attractors’ related with the interest of pathology, mathematic, and religion. In mathematic, attractors are a stable equilibrium state, such as a point at the bottom of a smooth bowl where a ball will always come to rest. Attractors can be lines, planes, or solids as well as points, and are the places where systems tend to settle down to rest. Strange attractors are chaotic regions of fractional dimensions that act like black holes, drawing the solutions of equations to their unknown and singular domains. Phenomena of the natural world – such as weather, disease, and ecosystem failures – are characterized by the presence of these strange attractors in the clockwork of their mathematics, lurking like time bombs as harbingers of instability, cyclical fluctuations, and just plain chaos.[19]
Could it be that pollution is natural? If by pollution we mean the dumping of waste matter there is indeed ample evidence that pollution is as natural to Gaia as is breathing to ourselves and most other animals. I have already referred to what might have been the greatest air pollution disaster to affect our planet, which took place about two aeons ago with the emergence of oxygen as athmospheric gas.[20]
Ancient Near Eastern societies faced many disasters. One particularly great flood that destroyed everything was long remembered in the ancient Near East. The earliest version of this flood story goes back to Sumerian times (c. 3000 B.C.E), preserved in a fragment of a tablet from the library at the city of Nippur. After the great flood, here come the solution. After, for seven days and seven night, the flood had swept over the land, and the huge boat had been tossed about by the windstorms on the great waters, Utu (the sun) came forth, who sheds light on heaven and earth. Ziusudra opened a window on the huge boat. The hero Utu brought his rays into the giant boat. Although the fragmentary nature of the text doesn’t make clear what Ziusudra put in the boat, but he becomes the one through whom human life begins after huge flood.[21]

This kind of flood story has been known in many religions and cultures. And as Ruether stated: “In these stories of yearly drought and death of vegetation, destruction and new creation, death and resurrection, are two sides of the same story. World destruction, through floods, drought, and trampling armies, becomes punishment by God, retribution for failure to obey the laws of one God, who controls nature and history from above.[22]

Our Ecological Fate
In the Gaia Hypothesis, humanity is seen as part of the total, ecological life of the planet and the complex meta-ecological awareness organism is affected by everything living in it. There are strong connection between the creator, the Earth and mankind and all creatures and creation within the Earth. So, no wonder if Gaian people feels like they become one with the Earth and felt hurts when other people hurts the Earth. We can see green people like this in green community such as Gaia Movement or GreenPeace.
Technology, power, economy, science, religion, all human constructions, always wills the good but does the evil. We have so many examples for this. For mankind nowadays, nothing is scared and everything will be consumed. When I saw a documentary film, entitled, Jesus Camp, I was so surprise when Evangelical Christianity stated that it is allowed to consume everything lies on Earth without being scared to have global warming or flood because this world is created and should be consumed until it dropped. And this is wrong because they use religion to defend their action to ruin the Planet Earth, while some other try to prevent the Earth from destruction.
In our social and cultural construction of ‘nature’, humans from the outset of hunting and agriculture, have modified and changed the earth systems themselves, reshaping plants, animals, air, water, and soil. Nature, in the sense of the earth system apart from human influence, is in its own constant process of adaptation and change. Human reshaping of non-human nature is itself a phase of this process of continues adaptation.[23]
“Why have narratives of world destruction played such a large part in religious consciousness? What role does apocalyptic narrative play today, as human face the destructive possibilities of their own power on an unprecedented scale?[24]
Scientific culture no longer has a God that is independent of nature. It cannot expect life force unconnected with the biosphere to intervene and renovate the earth after we have destroyed it. Nor is there another world in the sky to which we can escape. We have no home outside the earth. And so our destruction of this home is permanent destruction of ourselves as well.
Science, philosophy and religion can be a source of environmental ethics. Eastern religions have frequently expressed the goal of harmony with nature. Taoism in China portrays the world as an organic, interconnected system. Every particular being is a manifestation of the Tao, where to achieve a harmonious relationship to the natural world, we must respect it and adjust to its demands.[25]
But it is interesting when Saint Francis expressed eloquently a deep love of the natural world and a sense if union with it. He saw nature as a living whole and all creatures as objects of God’s love. Saint Francis has continued to appeal to the popular imagination, and the order that he founded has passed on both his respect for nature and his dedication to the poor.[26]

Conclusion
Is Earth okay now? Lovelock described that now Gaia is slowly taking revenge unless mankind changes their attitude toward her. And how is that? By giving positive energies to her. The climate change is already insoluble, and Earth is getting weak. The main question which lies between nature, science, and disaster is:  Who was behind the catastrophes? God or humanity? Who was really behind this tragedy? And the answer of the question will answer the question of was it completely ‘natural’ disaster or the way of God tickling human’s behavior? And now, another question: is it social construction? But this paper is not going to answer this question, rather to see the question from Gaian perspective which consider Earth as living organism. And Gaian sees catastrophes as both normal and abnormal things which need mankind to understand this by doing good deed to the Earth.


Conclusion
Barbour, Ian G.. 1993. Ethics in an Age of Technology: The Glifford Lectures 1989-1991 Volume 2. New York: Harper San Francisco
Lovelock, James. 1988. The Ages of Gaia: A Biography of our living earth. New York: W.W. Norton and Company
Lovelock, James. 2000. Gaia: A new Look at life on Earth. (New York: Oxford University Press)
Mustafa, Agus. 2006. Menuai Bencana. Surabaya:Padma.
Ruether, Rosemary Radgord. 1992. God and Gaia: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. New York: Harper San Francisco
Sahtouris, Elisabet. Earth Dance: Living Systems in Evolution. copyright © 1999 http://www.ratical.org/LifeWeb/Erthdnce/erthdnce.html last visited (21 January 2003).
Turney, John. 2003. Lovelock and Gaia: Signs of Life. New York: Colombia University Press








[1] Agus Mustofa. 2006. Menuai Bencana. (Surabaya: Padma)., pp. 12.
[2] John Campbell-Nelson, “Religion and Disaster” in ICRS-Yogya Conference: The Problem and Promise of Inter-Religious Studies (a paper), p. 2.
[3] John Turney. 2003. Lovelock and Gaia: Signs of Life (New York: Colombia University Press)., pp. 4.
[4] James Lovelock. 1988. The Ages of Gaia: A Biography of our living earth. New York: W.W. Norton and Company., pp. 194.
[5] Elisabet Sahtouris. EARTHDANCE: Living Systems in Evolution. copyright © 1999 by Elisabet Sahtouris. http://www.ratical.org/LifeWeb/Erthdnce/erthdnce.html (21 January 2003).
[6] James Lovelock. 1988. The Ages of Gaia: A Biography of our living earth. New York: W.W. Norton and Company., pp. 196.
[7] Wikipedia (February 11th, 2007)
[8] Wikipedia (February 11th, 2007)
[9] James Lovelock. 1988. The Ages of Gaia: A Biography of our living earth. New York: W.W. Norton and Company., pp. 202.
[10] Ibid., pp. 37-39.
[11] Ibid., pp. xix
[12] Ibid., pp. 191.
[13] Ibid., pp. 193.
[14] Ibid., pp. 193.
[15] Ibid., pp. 204-205.
[16] Rosemary Radgord Ruether. 1992. God and Gaia: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. (New York: Harper San Francisco)., pp. 1
[17] Ibid., pp. 4
[18] James Lovelock. 1988. The Ages of Gaia: A Biography of our living earth. New York: W.W. Norton and Company., pp. 198.
[19] Ibid., pp. 206
[20] Ibid., pp. 101-102.
[21] Rosemary Radgord Ruether. 1992. God and Gaia: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. (New York: Harper San Francisco)., pp. 61-62.
[22] Ibid., pp. 64
[23] Ibid., pp. 5-6.
[24] Ibid., pp. 61.
[25] Ian G. Barbour. 1993. Ethics in an Age of Technology: The Glifford Lectures 1989-1991 Volume 2 (New York: Harper San Francisco)., pp. 72.
[26] Ibid., pp. 75. 

Sabtu, 25 Mei 2013

Selamat Datang, Ramtha

sepertinya Arjuna  harus terlahir kembali. lama dia menanti saat ini. kemudian datanglah waktu yang tepat. welcoming ramtha menyusul setelah i remember laleh tapi di susun dalam masamasa yang sama dengan taman sunyi sekala. hanya beda rasa :)

menulis manuskrip tidak semudah membuat resep masakan meski lengkap tutorial. selalu ada percikan dimanamana yang muncul tetiba membelit dan tak memberi kuasa untuk taat aturan segala post-it yang tertempel di dahi ;)

Kamis, 16 Mei 2013

sekedar repost ... agar abadi di dunia lain


Jeremy sayang,

Kau benar, mungkin sebaiknya aku mulai talak tiga segala label kecerdasan dan pertemanan. 
Benar, memang hanya sunyi dan tentu saja dirimu yang benar-benar setia. 
Kau tahu itu khan?

Benar apa kata Vadag di 3 november 2004 yang lalu:
(tak banyak arab yg berani berpikir maju sekaligus menahan gejolak hati-1 inci berhenti sebelum menjadi takabbur dan besar kepala......aku hanya menyayangkan potensimu, aida........seorang wanita adalah seorang aib sejarah, asalah tugasnya untuk 'meledakkan' kontroversi itu. kau adalah hulu ledakku. jgn kecewakan aku dengan hanya menjadi narsis standard, kau lebih dari segala sesuatu yg kutakutkan.........)

V, aku membutuhkan dirimu menampar otakku agar berhenti sejenak dan kutenang kembali. 
Hiks ...

Valhalland, 15 Mei 2007

gairah tak terucap


ZELIKHA dalam 'I Remember LALEH'

“Ketakutan menghambat kita dalam mengungkapkan sifat-sifat kita yang sesungguhnya. Ketakutan membuat kita mersa sendirian di alam semesta yang penuh permusuhan. Ketakutan menawarkan perpisahan, dominasi, kecemburuan, iri hati, sikap defensif, dan kebencian sebagai cara-cara untuk menghadapi dunia. Tetapi pilihan apa yang kita miliki?”

“Kebenaran, cinta, kebersamaan, perdamaian, perasaan welas asih, kerjasama, rasa bersyukur, tanggung jawab, dan resiko. Kita sudah melihat apa yang dihasilkan dari rasa takut, lantas mengapa tidak mengambil kesempatan untuk keberanian dan bertanggung jawab?”


(Ch. Unspoken Passion)

Memanggil JEREMIAH


Dear Jeremy,
Aku menulis banyak tentang dirimu, diriku, dan ‘tetangga-tetangga’ dalam hidupku. Aku menulis banyak tentang mama, ayah dan adik-adikku. Semua bahan yang kutoreh adalah kehidupanku. Tidak ada yang spesial. Biasa-biasa saja. Ini sebuah pekerjaan sunyi melawan sepi diri yang melelahkan sekaligus melegakan. Setiap malam, ketika aku menangis dipundakmu itu kumerasakan lega yang luar biasa sangat. Kau tau benar saat itu aku tengah merajut kata dalam sedih. Tiba-tiba dirimu bersandar dekatku dan menyapa. Tak seorangpun akan memahamiku – dan memahamimu. Dalam hidup ini aku cuma punya sebuah kunci – sebuah teman. It’s you ... Jeremiah. Sangat disayangkan kalau aku tidak tahu tanggal lahirmu. Terlebih dirimu tak pernah mau memberitahuku. Bisa jadi November? Atau kalau kulihat dari sifatmu, mungkin Juni atau Mei. Bulan-bulan itulah aku pertama kali bertemu denganmu – dan saat itulah aku diberitahu tentang kelahiranmu. Aku sempat memiliki potret dirimu. Aku membuatnya sendiri. Sayang sekali self-potrait yang kulukis itu hilang. Sudah bertahun-tahun aku tidak merasakan keberadaannya. Jika saja aku mampu membeli waktu untuk melukismu sekali lagi ... akan kulukis.
Saat-saat paling indah adalah:
“Jeremy ...?”
“Ya? I’m here. Always here.”

28 Juli 2006, dekat rumah.
REPOST: 16 Mei 2013, valhalland.





Rabu, 15 Mei 2013

Manuskrip Celestine: Lagu Lama yang Indah (sebuah repost)




Judul: The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine)
Penulis: James Redfield
Penerjemah: Alfons Taryadi
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: 430 Halaman
Dimensi: 11 x 18 Cm
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan Ketiga, 1999



Sebuah buku tidak akan laris jika tidak berisi sebuah pemikiran. Dan sebuah pemikiran tidak akan menggebrak dunia jika tidak berupaya merevolusi. Setuju atau tidak, tapi inilah yang terjadi, dimana Novel Spiritual The Celestine Prophecy atau Manuskrip Celestine tidak hanya membuat heboh Dunia, akan tetapi sudah membius para pembacanya di seluruh dunia, bahkan juga di Indonesia.
Setelah mengalami lima kali cetak ulang dan pihak Penerbit Gramedia pun sempat membuat diskusi terbuka tentang novel ini. Manuskrip Celestine adalah sebuah ramalan tentang sebuah transformasi massal dalam masyarakat manusia. Dimana ada semacam kebangkitan dalam kesadaran yang berlangsung perlahan-lahan. Tidak bersifat agamawi, tapi bersifat spiritual. Ditengah hiruk pikuk bingungnya akan eksistensi diri, manusia mencari makna hidup. Dan novel ini menceritakan tentang perjalanan untuk menemukan suatu bentuk kehidupan manusia yang baru. [1]
                Sebenarnya apa yang ditulis dalam Manuskrip Celestine ini bukanlah hal yang baru. Sebelumnya kita punya Fritjof Capra dengan bukunya The Turning Point, lalu ada buku The Aquarian Conspirasy: Personal and Social Transformation in 1980’s dari Marilyan Fergusson; yang mana semua buku-buku itu, sama halnya dengan buku-buku James Redfield, yaitu menyadarkan kita tentang adanya perubahan paradigma cara pandang manusia terhadapa dunia ini, termasuk dalam bidang sains, yang tergabung dalam aliran kosmologi baru – bahwa hidup adalah petualangan suci.
                Bagi sebagian besar orang, sebut saja, pemeluk agama terbesar Indonesia yang Islam ini, bahwa Manuskrip Celestine memberikan perubahan besar bagi keberagamaan mereka. Benarkah ini? Makalah ini akan mencoba mengungkap dampak novel Celestine Prophecy (Celpro) bagi religiusitas seseorang dan juga dampaknya di bidang yang lainnya. Maksudnya adalah Celpro membawa kita mengenal New Age secara tidak langsung, lalu akan dibawa kemana pemahaman itu dan akan seperti apa bentuk pemahaman mereka itu.

MANUSKRIP CELESTINE: Lagu Lama yang Indah
                Meski bukan hal baru, tapi apa yang ditulis oleh James Redfield sangatlah indah. Ia akan membawa kita kepada suasana era tahun 60-an dimana “The Beautiful People”, para Hippies itu merasakan bahwa Sidharta Gautama bukan hanya milik orang Buddha saja, Kebijaksanaan I Ching pun bukan semata-mata milik Timur, tapi Barat yang beberapa insannya sudah ‘taubat’ pun juga memilikinya.
                Hal-hal menakjubkan dari Timur sudah memukau Barat sedari dulu, dan hanya beberapa yang bisa mengabadikannya dalam sebuah novel. Manuskrip Celestine adalah salah satunya. Untuk memahami efeknya kepada keberagamaan seseorang, maka dirasa perlu untuk menceritakan wawasan-wawasan apa saja yang terdapat di dalamnya.
                Manuskrip ajaib ini dibagi ke dalam beberapa bab. Tiap bab menceritakan wawasan khusus untuk hidup. Ramalan yang dibawa oleh manuskrip ini adalah bahwa dalam periode waktu ini, manusia akan mulai memahami wawasan ini secara berurutan, yang satu mengikuti yang lain, sementara kita tengah bergerak ke arah budaya yang sama, yaitu bersifat spiritual.
                Di dalam Celestine Prophecy ini ada sembilan wawasan yang menggambarkan mistisisme dengan bahasa psikologis, dan seri kedua dari buku ini, yaitu The Tenth Insight: Holding The Vision (dalam edisi bahasa Indonesia yaitu The Tenth Insight: Wawasan Kesepuluh, diterbitkan oleh Gramedia pula). Edisi kedua dari novel Redfield ini lebih membahas dimensi keruhaniyahannya, dimana disitu akan diceritakan cara-cara hidup baru yang dianut umat manusia yang ingin mencari makna hidup, tapi hilang karena dunia materi.
                Manuskrip Celestine berbicara tentang peristiwa kebetulan, intuisi, energi, evolusi dan etika interpersonal yang baru. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Manuskrip ini, dengan sembilan wawasannya untuk mengajari kita menghargai peristiwa kebetulan, menangkap pesan, memperhatikan energi, menyerapnya dan menggunakannya dengan benar. Lalu kita diharuskan untuk ramah lingkungan dan diajak untuk mempercayai bahwa manusia pun tengah berevolusi dan belum berhenti. Etika interpersonal mengajarkan yaitu kesadaran bahwa setiap pertemuan antara pribadi satu dengan yang lainnya itu menyiratkan etika, dan bersama-sama kita meningkatkan keruhaniaan kita, dan membentuk kesadaran baru manusia di millenium ketiga ini. [2]

CELPRO dan NEW AGE
Visi transformatif New Age dari personal ke sosial itu, sungguh paralel dengan arus utama kebangkitan spiritual dewasa ini, yang secara epistemologis dimatangkan James Redfield melalui empat karya besarnya sekaligus: The Celestine Prophecy: An Adventure (1993), The Tenth Insight: Holding the Vision, (1996), The Celestine Vision- Living the New Spiritual Awareness (1998), dan The Secret of Shambala (1999). "To change the world, we first had to change our selves," inilah pesan psikologis-spiritual James Redfield yang searah dengan gerakan New Age.
Secara sederhana, selain perkakas alat bantu peningkat kesadaran atau minyak essensial penenang, berbagai macam novel spiritual itu adalah sebuah produk komersil yang menyehatkan. Jadi, Novel Celestine ini adalah produk New Age. Menurut David Spangler, dalam bukunya Revelation: The Birth of a new age dan Emergence: The Rebirth of the Sacred, dikatakan kalau ada empat level gerakan New Age. Yaitu: Pertama, kategori komersial. Termasuk kategori ini adalah sepatu berlabel New Age, musik-musik New Age seperti Enya, Secret Garden, Enigma, Spiritus Sanctus, Anggun C. Sasmi (feat. Deep Spirit), rekaman kaset dan video relaksasi, teknik-teknik kesadaran (seperti reiki, zen, shamballa). Kedua, kategori daya tarik (glamour). Kategori ini sering menjelma dalam kebudayaan populer, penuh keanehan dan eksotis, kekuatan batin, spuranatural, occultisme, pemuja kesunyian (withdrawal). Ketiga, level New Age yang menaruh perhatian pada perubahan, seperti ingin terjadinya perubahan politik, bisnis, pendidikan, peran gender, ilmu, agama, psikologi. Kita mengenal psikologi psikoanalisis berubah menjadi behavioristik lalu menjadi humanistik dan New Age mengubahnya lagi menjadi Psikologi Tranpersonal. Sebut saja Danah Zohar. Dan dalam dunia pendidikan, sebut saja gaya mengajar seorang guru dalam film Dead Poet Society dimana cara mengajarkannya mengacu kepada keunikan setiap diri yang ada. Keempat, level New Age secara paradigmatik ingin mendefinisikan kembali makna ‘kesucian’ dan sekaligus mensakralisasikan ulang bumi, manusia dan kehidupan sehari-hari. Dan inilah New Age yang menjadi titik awal kebangkitan spiritualitas New Age dan kesadaran baru dalam kehidupan sehari-hari. Fokus utama New Age ini adalah transformasi utama pemikiran dan kehidupan secara global. Contoh seperti, pemikiran Seyyed Hosein Nasr dalam Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Sachiko Murata dalam Tao of Islam, Hasan Askari dalam Lintas Iman Dialog Spiritual, buku-buku Hazrat Inayat Khan, Tagore.
Lalu bagaimana New Age ini akan berpapasan dengan agama? Akankah bertubrukan dengan dahsyat dan saling menghancurkan, atau malah mungkin saling bekerja sama?

NEW AGE dan FILSAFAT PERENNIAL
Kalangan New Age memakai filsafat perennial sebagai jalan keluar dari krisis moral dan spiritual. Karena, sophia perennis sebagai filsafatnya kalangan New Age, selalu menghidupkan pesan sejati fitrah manusia. Manusia mengalami krisis, karena telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia. Untuk itu, manusia perlu segera menghidupkan kembali fitrah asasinya dalam kehidupan sehari-hari. Fitrah asasi manusia, seperti berkiblat pada keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi, sikap inklusif di tengah pluralitas, harus menjadi komitmen empiris dalam keseharian hidup manusia. Sayangnya, nilai-nilai asasi fitrah manusia itu, sudah kering dari lingkungan tradisi agama-agama formal. "Such religions are false," kata Hanegraaff melukiskan sikap New Agers yang alergi terhadap  agama-agama formal, karena dinilainya cenderung dogmatis, eksklusif, dan eksoteris.
Dalam Islam sendiri hal ini tidaklah asing. Diskursus ataupun perdebatan mengenai filsafat perennial beberapa waktu lalu, sempat meramaikan atmosfir pemikiran Islam di Indonesia. Respon terhadap pemikiran ini di beberapa kalangan pemikir Islam di Indonesia pada saat itu cukup positif. Filsafat Perennial atau philosophia perennis menurut Sayyed Hossein Nashr dalam pengantarnya untuk karya Schuon, Islam and the Perennia Philosophia, sesungguhnya bukanlah sesuatu hal  yang baru. Istilah ini pertama kali diperkenalkan di Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Setelah itu istilah ini dipopulerkan oleh Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulisnya pada tahun 1715.

BERTEMUNYA DENGAN ISLAM
Kita mengenal sophia perennis, Sanata dharma atau al hikmah al-khalidah, religio perennis, scientia sacra, sama halnya dengan kita mengenal Guenon, Schuon, Seyyed Hossein Nasr, Corbin, Burchardt, dkk yang menolak pandangan hidup filsafat modern yang relativistik, positivisme dan rasionalistik. Dimana konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama itu terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih benar dari yang lain.
Benang merah yang harus ditekankan dalam memahami filsafat perennial adalah melihat agama dalam realitas transendental aspek esoteris. Bukan agama dalam kenyataan faktual. Artinya pada tingkat ini kita tidak mendiskusikan dan membahas mengenai agama mana yang diterima disisi Tuhan dengan pendekatan empiris bukan ini penekanannya. Dengan cara transendental dapat ditemukan norma-norma abadi yang hidup dalam hati setiap agama-agama besar dan tradisi­tradisi spiritual kuno. Dan ini semua membawa kita untuk melakukan dialog agama atau sekedar mengiyakan bahwa bisa jadi Transcendent Unity of Religions-nya Schuon bukan sekedar utopia belaka.
Di majalah ISLAMIA, dikatakan oleh Adnin Armas bahwa gagasan Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esotoris adalah ‘utopia’, hanya karena gagasan ini merupakan hasil dari pengalamannya ketika terlibat dari kehidupan agama-agama. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terburuk yang pernah ada. Tidakkah akan cukup mengerikan kalau akhirnya mungkin kita juga akan mengetahui bahwa sebenarnya ‘agama’ sendiri juga hasil dari pengalaman spiritual seseorang? Kesimpulan dangkal bahwa Islam yang dikenalkan Schuon bukanlah Islam untuk ummat, malah mengaburkan arti Islam itu sendiri. Karena pengenalan Islam ala Schuon-lah yang mampu menggeret ratusan ribu manusia untuk kembali ke Islam. Sebut saja Gai Eaton.
New Agers lebih gandrung dengan pada kearifan perenial tradisional dalam mengatasi kemelut krisis moral dan spiritual, karena sophia perennis selalu menghidupkan pesan sejati fitrah manusia. Manusia mengalami krisis karena telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia. Karena itu manusia perlu segera menghidupkan kembali fitrah asasinya dalam kehidupan sehari-hari. Fitrah manusia selalu berkiblat kepad akeadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi, sikap inklusif di tengah pluralitas – harus menjadi komitmen empiris dalam keseharian hidup manusia. Sayangnya, nilai-nilai fitrah itu sudah kering dari lingkungan tradisi agama formal. [3]
Maka dari itu bisa dibilang kalau para New Agers membenci agama formal yang terlalu dogmatis, ekslusif, eksoteris. Meski banyak juga dari mereka yang lunak terhadap pluralitas agama karena agama-agama formal itu juga memiliki nilai-nilai kearifan dan menuju kesana. Meski kadang konsep ‘holy war’ dalam agama membuat lunaknya New Agers tidak bisa melunturkan perkataan bahwa such religions are false.
Didalam agama kita mengenal konsep keselamatan, tapi tidak di New Age. Tidak disini dalam arti bahwa hal itu tidaklah penting. Karena dalam New Age, yang terpenting adalah proses itu sendiri yang akan membawa manusia itu menuju pencerahan atau enlightment. Dan ini mirip sekali dengan konsep insan kamil dalam Islam, konsep suci kembali atau fitri dalam Islam.
Dalam konsep insan kamil atau istilah psikologisnya adalah orang yang menggapai self achievement tertinggi, bisa dicapai (memang dicapai!) dengan pengalaman spiritual atau peak experience. New Age mengajarkan ini semua bahwa tingkat kesadaran tertinggi digapai dengan kontemplasi, pengalaman spiritual yang dicapai dengan berbagai cara, sebutlah TM, Yoga, Meditasi, Reiki, Zen, dan banyak cara lainnya yang berdasarkan kehendak hati. Bahkan pengalaman spiritual ini bisa terjadi dimana saja, seperti di pegunungan (saat tafakur!), di dalam kamar, bahkan ditempat kerja sekalipun jika itu memungkinkan. Hal ini pula juga tersebut dalam Manuskrip Celestine-nya Redfield, bahwa segala tempat di bumi ini suci. Dan ini sama seklai tidka bertolak belakang dengan Islam yang mengatakan bahwa “Setiap bumi adalah masjid, karena itu suci”. Tapi dalam memahami ini, jangan kita terpancing dengan tradisi kekakuan lalu mempertanyakan apakah WC umum juga suci. Itu dikembalikan kepada diri kita masing-masing, apakah WC umum bagi anda adalah tempat suci atau tidak.
Buku ini (Celestine Manuskrip) menyiratkan ajaran New Age yang sama sekali tidak bertolak belakang dengan agama apapun (termasuk Islam) karena yang digembao-gemborkan adalah nilai etika dan berusaha mengatasi komunikasi interpersonal. Komunikasi semacam ini akan membawa kita kepada sebuah forum dimana kita akan membicarakan hal-hal yang tidak dogmatis dan tersekat-sekat. Seperti yang para New Agers cetuskan, begitu pula para pluralist seperti Hasan Askari katakan bahwa sudah saatnya bagi kita untuk bersama-sama saling meningkatkan kerohanian kita dengan mengacu pada keindahan diri kita sendiri saat berevolusi. Bahkan menurut Osho dalam bukunya Psikologi Ghaib, kalau sudah saatnya bagi manusia untuk berhenti berevolusi dan memulai revolusi diri, yaitu kembali mempertanyakan dan menjawab apa visi misi hidup kita di dunia.
Bahkan New Age pun tak tanggung-tanggung memperkenalkan bagaimana cara kita mengamalkan apa yang kita punya. Dalam konsep Islam dikenal sebagai zakat. Dari sini, kita bisa lihat bahwa New Age bukanlah agama baru, dan tidak bertentangan dengan agama-agama besar apapun di dunia. New Age hanyalah sebuah spiritualitas tanpa institusi yang mana sebagian New Agers mungkin masih ada yang antiagama (karena trauma!) tapi juga ada yang moderat (karena ia seorang pluralist!). Jika Islam mempunyai konsep rahmatan lil al amin, maka New Age, seperti yang digambarkan oleh Hasan Askari, bahwa sudah saatnya kita berpindah dari yang lahiriah ke batiniah (wawasan kesepuluh) dan kedamaian akan tersebar luas. Dan hubungan antaragama merupakan tuntuan agama dari dunia multiagama. Pluralitas agama (dilihat dari kacama New Agers) akan menjamin agama tetap menjadi agama.

KEPUSTAKAAN
Askari, Hasan. 2003. Lintas Iman Dialog Spiritual. LkiS: Yogyakarta
Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Bentang Budaya: Yogyakarta.
Chalfant, H. Paul & Beckley, Robert E & Palmer, Eddie. 1994. Religion in Contemporary Society. Peacock Publisher: Illinois.
Munawar-Rachman, Budhy. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. PT. Raja Grafindo Pustaka: Jakarta.
Redfield, James  & Murphy, Michael & Timbers, Sylvia. 2002. God and The Evolving Universe: The Next Step in Personal Evolution. Penguin Putnam: New York.
Redfield, James. 2001. The Celestine Prophecy. Gramedia: Jakarta
Smith, Huston. 1999. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Sukidi. 2001. New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama. Gramedia: Jakarta








[1] Redfield, James. 2001. The Celestine Prophecy. Jakarta: Gramedia., h. 16
[2] Disarikan dari Redfield, James. 2001. The Celestine Prophecy. Jakarta: Gramedia.
[3] Sukidi. 2001. New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia., h. 20-21