Rabu, 19 November 2025

Dagon oleh H.P Lovecraft

Menerjemahkan Lovecraft berarti mempertemukan pembaca kita dengan paradoks itu: antara kebencian kecil seorang manusia dan cakrawala agung seorang pemimpi kosmik. Dengan membawanya ke dalam bahasa kita, kita tidak hanya menghadirkan teks, tetapi juga membuka dialog, tentang horor, tentang sejarah, tentang kemanusiaan, dan tentang bagaimana sastra selalu lahir dari cahaya dan bayangan sekaligus.


Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam penerjemahan ini. Pertama adalah kesetiaan pada kalimat panjang Lovecraft. Bahasa Indonesia umumnya lebih condong pada struktur ringkas, tetapi justru kepanjangan dan kerumitan kalimat lah yang membuat Lovecraft mampu menghadirkan rasa tercekik, rasa tak berdaya di hadapan sesuatu yang lebih besar dari nalar. Maka, alih-alih memotong, saya berusaha menjaga ritme itu tetap bergulir, sembari menyesuaikan diksi agar tetap terbaca alami.

Kedua, pilihan istilah yang sesuai dengan zamannya. Lovecraft menulis di awal abad ke-20, ketika istilah seperti packet (kapal dagang/penumpang) atau supercargo (perwira pengurus muatan) masih lazim. Alih-alih menggantinya dengan istilah modern, saya memilih mempertahankan nuansa historisnya. Dengan begitu, pembaca bukan hanya membaca cerita, tetapi juga merasakan aroma zaman yang melahirkannya.

Ketiga, menjaga esensi horor kosmik. Horor Lovecraft bukan horor darah atau teriakan, melainkan horor karena tak adanya nama, tak adanya bentuk yang bisa kita pastikan. Karena itu, saya berusaha tidak menerjemahkan terlalu konkret. Kata-kata seperti nameless saya biarkan tetap samar, tetap absurd, agar pembaca ikut merasakan apa yang dimaksud Lovecraft sebagai sesuatu yang “tak terperikan.”

Keempat, suasana arkais dan muram. Kata-kata pilihan seperti jurang, kekacauan, hamparan, tak terlukiskan, mengerikan dipilih bukan sekadar karena tepat, tetapi juga karena membawa pembaca pada nada gotik dan kuno yang memang menjadi rumah bagi Lovecraft.

Kelima, ritme dan atmosfer. Lovecraft selalu menumpuk klausa demi klausa, menunda kepastian, dan menekan pembacanya dengan jeda yang panjang. Tugas penerjemah bukan sekadar memindahkan makna, melainkan menjaga tekanan itu agar pembaca Indonesia pun merasakan bagaimana sebuah kalimat bisa berubah menjadi semacam labirin yang memerangkap.

Akhirnya, menerjemahkan Dagon adalah belajar menjadi juru kunci yang tugasnya bukan Cuma saja menjaga keasingan teks, tetapi sekaligus membukanya bagi pembaca. Ia menuntut keseimbangan antara kesetiaan historis dan keluwesan modern, antara teks dan atmosfer. Seperti naratornya dalam kisah Dagon ini yang terombang-ambing antara waras dan gila, penerjemah pun harus rela berjalan di antara terang bahasa kita dan gelap kata-kata Lovecraft agar pembaca bisa ikut merasakan betapa dalamnya laut dan betapa mengerikannya sesuatu yang merayap di dasarnya.

Sebagai catatan tambahan, Dagon (ditulis tahun 1917, pertama kali terbit pada 1919) menempati posisi penting dalam perkembangan awal Lovecraft. Di sinilah untuk pertama kalinya tema besar horor kosmik tentang makhluk purba yang lebih tua dari manusia dan lebih besar dari agama muncul ke permukaan. Monolit, lautan, dan dewa ikan yang mengintai di balik gelombang menjadi cikal bakal bagi mitologi Lovecraft yang kelak lebih matang dalam The Call of Cthulhu dan karya-karya lain. Dengan demikian, penerjemahan Dagon ke dalam bahasa Indonesia bukan sekadar menghadirkan cerita pendek, melainkan memperkenalkan pembaca pada akar dari seluruh imajinasi gelap yang disebut sebagai Cthulhu Mythos.



=====



D A G O N

Aku menulis ini semua di bawah tekanan jiwa yang nyaris tak tertahankan, dan menjelang malam aku akan musnah. Tanpa sepeser uang dan perrsediaan obat terkutuk yang menipis – obat ini adalah satu-satunya penopang yang membuat hidup masih sanggup kujalani, aku sudah tak kuasa lagi menanggung siksaan ini. Harusnya kulemparkan tubuhku ini dari jendela loteng ke jalan kumuh di bawah sana. Meski aku menghamba pada morfin, jangan kau mengira kalau aku seorang pengecut atau manusia hina. Setelah kau membaca lembaran yang kutoreh dalam resah dan tergesa, mungkin kau akan menduga, meski kau takkan pernah memahami, mengapa aku hanya bisa memilih antara lupa ingatan atau mati.

Peristiwa itu bermula di salah satu sudut lautan Pasifik yang luas dan nyaris tak terjamah, ketika kapal tempatku bekerja sebagai superkargo jatuh ke tangan pelaut Jerman. Saat itu perang besar baru saja meletus; angkatan laut kaum Hun belum sepenuhnya terperosok dalam kebiadaban yang kelak akan mereka perlihatkan. Kapal kami dianggap rampasan yang sah, dan kami—para awak—diperlakukan dengan cukup wajar, layaknya tawanan perang di lautan. Bahkan penjagaan para penawan begitu longgar, hingga lima hari setelah penangkapan aku berhasil kabur sendirian dengan sebuah sekoci kecil, lengkap dengan persediaan air dan makanan yang cukup untuk bertahan lama.

Saat diriku terombang-ambing bebas di lautan, aku nyaris tak tahu dimana diriku tengah berada. Aku tak pernah menjadi juru mudi yang cakap; aku hanya bisa menebak dengan samar lewat matahari dan bintang-bintang bahwa kiranya aku berada di selatan khatulistiwa. Aku juga tak paham tentang apa itu garis bujur, sejauh mata memandang, tak ada satu pulau atau garis pantai yang nampak. Beruntung cuaca tetap bersahabat, meski selama berhari-hari yang tak terhitung aku terombang-ambing tanpa tujuan di bawah terik matahari yang membakar; menunggu sebuah kapal yang entah lewat atau tidak, atau berharap agar arus melemparkan diriku ke tepian daratan tak berpenghuni. Namun tiada kapal, tidak pula tanah menjelang, dan aku pun mulai putus asa dalam kesendirianku di atas laut biru yang luas dan tak ter berujung. 

Namun segalanya berganti saat aku terlelap. Rincian getirnya takkan pernah kuketahui; sebab tidurku yang meski kerap diganggu mimpi-mimpi gelisah dan penuh bayangan, berlangsung tak kunjung usai. Saat akhirnya terjaga, aku mendapati diriku tengah terbenam dalam hamparan berlendir—rawa hitam nan mengerikan—yang membentang di sekelilingku dengan riak yang berulang-ulang seluas cakrawala pandangan, dan kulihat di seberang jauh, perahuku terdampar.

Orang pasti mengira kalau aku bakal takjub dan kagum saat aku terdampar ke tempat yang besar dan tak terduga ini, tapi aku lebih merasa tercekam dan ngeri ketimbang terpesona; sebab di udara dan di tanah yang membusuk itu ada suatu yang jahat yang membuatku menggigil hingga ke sumsum. Wilayah itu dipenuhi bangkai ikan yang mereput, dan benda-benda lain yang menjijikan yang sebaiknya tidak kulukiskan dalam kata-kata, yang mana benda itu menjulur keluar dari lumpur busuk di dataran tak bertepi. Aku harap aku tidak harus menyampaikan kengerian yang tak terperikan ini dengan kata-kata, karena akan meciptakan kesunyian mutlak dan kegersangan yang tak berujung. Tak ada suara yang bisa kudengar, tak ada sesuatu di depan mata selain hamparan lumpur lendir hitam yang tak berujung; namun justru kesunyian yang sempurna dan wajah alam yang seragam satu rupa yang menyelimutiku membuatku tertekan oleh rasa takut yang memuakkan dan membuat mual. 

Nyala matahari di langit tampak hitam legam bagiku, seakan memantulkan rawa hitam di bawah kakiku. Saat aku merangkak kembali ke perahu yang terdampar, aku sadar hanya ada satu teori yang bisa menjelaskan keadaanku. Ini bisa jadi ulah sebuah guncangan vulkanik yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana sebagian dasar lautan pasti terangkat ke permukaan, kemudian tersingkaplah wilayah yang selama berjuta-juta tahun yang tersembunyi di bawah kedalaman air yang sangat dalam. Begitu luasnya tanah baru yang muncul di bawahku, hingga tak kudengar sedikit pun gemuruh lautan, betapapun kupaksa telingaku. Tak tampak pula burung laut untuk memangsa bangkai-bangkai itu.

Selama beberapa jam aku duduk termenung dalam perahu yang miring ke samping dan hanya memberi sedikit teduh saat matahari melintas di langit. Seiring berlalunya hari, tanah sudah tidak pekat dan lengket, dan tampak mengering dalam waktu singkat sehingga mudah untuk dilalui. Malam itu aku hampir tak bisa tidur, dan keesokan harinya kupersiapkan sebuah bungkusan berisi makanan dan air, sebagai bekal perjalanan darat untuk mencari laut yang tiba-tiba lenyap dan barangkali menemukan jalan keluar menuju keselamatan.    

Pada pagi ketiga kutemukan tanah itu sudah cukup kering untuk dapat kulalui dengan mudah. Bau anyir ikan yang membusuk mengusik waras; namun aku tengah disibukkan oleh perkara yang jauh lebih besar dari sekedar kebusukan kecil semacam itu, maka aku pun melangkah berani menuju arah samar yang tak terjangkau. Seharian penuh aku berjalan ke arah barat, menatap sebuah gundukan yang menjulang lebih tinggi daripada  tonjolan-tonjolan lain di gurun bergelombang itu. Malamnya aku berkemah, dan keesokan harinya aku masih juga bergerak ke arah gundukan itu, meski rasanya jarak tak berkurang sedikitpun sejak pertama kali kusaksikan. Menjelang senja hari keempat akhirnya ku capai kaki bukit, dan ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraanku semula. Aku sudah terlalu letih untuk mendaki, kemudian ku terlelap dibalik bayang-bayang bukit tinggi itu.

Aku tak tahu mengapa mimpiku malam itu demikian liar; namun sebelum bulan yang terbit tinggi di atas dataran timur itu mulai surut dan berbentuk aneh dengan kebulatannya yang tak wajar, aku sudah terbangun dengan peluh dingin, bertekad untuk tak lagi tidur. Penglihatan gaib yang kualami terlalu dahsyat, aku tak sanggup menanggungnya. Dan dalam cahaya bulan itu kusadari betapa bodohnya aku melakukan perjalanan di siang hari. Tanpa silau matahari yang membakar, perjalananku tentu akan jauh lebih sedikit menguras tenaga; bahkan kini aku merasa cukup kuat untuk melakukan pendakian yang sebelumnya kuhindari saat matahari terbenam. Maka kuangkat kembali buntalanku, dan aku pun mulai menapaki lereng menuju puncak ketinggian itu.

Gerakan gelombang yang monoton dan tak terputus dari dataran itu menjadi kengerian yang samar bagiku; dan kengerian itu mencapai puncaknya ketika akhirnya kudaki puncak bukit dan memandang ke sisi lain, ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam, yang sudut-sudut hitamnya belum dijangkau cahaya bulan. Aku merasa seakan berada di tepi dunia; menunduk di ujung kekacauan tanpa dasar dalam malam abadi. Rasa ketakutanku bergema akan kenangan samar akan Paradise Lost, tentang pendakian yang mengerikan oleh Sang Iblis melewati ranah gelap yang belum terbentuk.

Saat bulan merayap makin tinggi di langit, perlahan kulihat bahwa lereng lembah itu tak sepenuhnya tegak lurus seperti yang kupikirkan. Tebing dan tonjolan batu menyediakan pijakan yang cukup mudah untuk turun, dan setelah jatuh beberapa ratus kaki, kemiringannya menjadi jauh lebih landai. Didorong oleh sebuah hasrat yang aku sendiri tak tahu apa itu, aku merayap dengan susah payah menuruni bebatuan itu, hingga akhirnya berdiri di lereng yang lebih aman di bawah, menatap ke kedalaman Stygian yang belum pernah disentuh cahaya apa pun.

Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah benda luas dan aneh di sisi lereng yang berlawanan, menjulang curam sekitar seratus yard di depanku; sebuah benda yang berkilau pucat dalam anugrah cahaya bulan. Benda itu mungkin hanya sebuah bongkahan batu raksasa yang punya kekuatan akan tapi tidak alami, bukan sepenuhnya kerja alam. Aku mengamatinya dari jarak dekat dan sensasinya tak terkatakan; benda itu memiliki ukuran yang besarnya luar biasa, dan meski posisinya berada di jurang yang usianya pun sudah purba, sejak awal dunia menganga di dasar samudra, aku tak ragu sedikitpun bahwa benda ganjil itu adalah sebuah monolit dengan bentuk sempurna, yang tubuh masifnya merupakan hasil karya dan mungkin juga pemujaan makhluk hidup yang berpikir.

Pening dan gentar, aku meneliti sekelilingku dengan lebih cermat, sayangnya tidak ada ketegangan yang nikmat layaknya seorang ilmuwan atau arkeolog. Sang Bulan kini hampir mencapai zenit, memancarkan cahaya aneh dan tajam di atas tebing-tebing menjulang yang mengepung jurang, menyingkapkan kenyataan bahwa di dasar sana ada hamparan air mengalir, meliuk hingga lenyap dari pandangan ke dua arah, hampir menyentuh kakiku saat aku berdiri di lereng itu. Di seberang jurang, riak-riak kecil menghantam dasar monolit siklop yang raksasa; hingga pada permukaannya kini dapat kulihat jejak tulisan dan pahatan kasar.

Tulisan itu berasal dari suatu sistem hieroglif yang sama sekali asing bagiku, tak menyerupai apa pun yang pernah kulihat dalam kitab-kitab; kebanyakan berupa simbol-simbol laut yang telah dibakukan: ikan, belut, gurita, krustasea, moluska, paus, dan semacamnya. Beberapa karakter lain menggambarkan makhluk laut yang tak dikenal oleh dunia modern, namun bangkai busuknya pernah kusaksikan membusuk di dataran yang terangkat dari samudra itu.

Ukiran gambar itu membuatku terpukau dan tercengang. Terlihat jelas di seberang air yang memisahkan kami, berjejer relief-relief besar yang kedahsyatannya mampu membangkitkan rasa cemburu seorang DorΓ©. Kupikir pahatan itu dimaksudkan untuk menggambarkan manusia—setidaknya menurutku, itu semacam manusia; makhluk-makhluk itu digambarkan berenang bebas seperti ikan di dalam gua laut, atau tengah memberi penghormatan di hadapan semacam kuil monolitik yang tampaknya juga berada di bawah ombak. Aku tak berani menceritakan detail wajah dan bentuknya, karena memikirkannya saja sudah membuatku lemas tak berdaya. Lebih grotesk dan melampaui daya khayal seorang Poe ataupun Bulwer; dan tetap saja, terkutuklah makhluk itu begitu menyerupai manusia dalam garis besarnya, meski tangan dan kaki mereka berselaput, bibir mereka menganga lebar serta lembek, mata mereka menonjol dan mengkilat, membelalak, dan ciri-ciri lain yang terlalu buruk untuk dikenang. Anehnya, pahatan itu tampak dipahat dengan proporsi yang menurutku aneh, sebab salah satu makhluk ditampilkan tengah membunuh seekor paus yang hanya digambarkan sedikit lebih besar dari dirinya. Aku mencatat, sebagaimana kukatakan, aku mencatat semua keganjilan bentuk mereka yang besar; namun segera kumantapkan dalam hati bahwa itu hanyalah dewa-dewa imajiner dari suatu suku primitif nelayan atau pelaut, suku yang keturunan terakhirnya telah punah beribu era sebelum nenek moyang pertama Manusia Piltdown atau Neanderthal lahir. Tersentak dan terpukau oleh penglihatan tak terduga akan sebuah masa lalu daya khayalnya melampaui antropolog yang paling gagah sekalipun, aku terdiam merenung, sementara bulan menebarkan pantulan-pantulan aneh ke atas kanal sunyi di hadapanku.

Lalu tiba-tiba aku melihatnya. Makhluk itu meluncur ke permukaan yang ditandai oleh pusaran, ia menampakkan diri di atas air gelap. Maha luas, menyerupai Polyphemus, dan menjijikkan, ia bergerak cepat bagaikan monster dalam mimpi buruk, ia melesat menuju monolit, melilitinya dengan lengan-lengan bersisik yang mengerikan, sementara kepalanya yang buruk rupa ia tundukkan, mengeluarkan serangkaian suara yang berpola dan berirama . Saat itulah kewarasanku lenyap.

Saat aku menuruni lereng dan tebing dengan panik, saat aku dengan gusar kembali ke perahu yang terdampar, aku ingat sedikit hal. Kala itu aku melantunkan nyanyian, dan tertawa aneh ketika tak sanggup lagi bernyanyi. Samar-samar teringat olehku akan badai besar yang terjadi setelah aku mencapai perahu; kemudian aku mendengar gelegar halilintar, bersama nada-nada lain yang hanya dilontarkan Alam pada saat-saat paling liar.

Saat aku lepas dari kegelapan, aku telah berada di sebuah rumah sakit di San Francisco; seorang kapten kapal Amerika yang menemukan perahu di tengah samudra membawaku ke rumah sakit. Saat tak sadarkan diri aku mengigau banyak sekali, namun mereka tak menganggap kata-kataku sebagai hal penting. Para penyelamatku sama sekali tak tahu-menahu tentang kejadian tanah yang terangkat di Pasifik; dan aku pun tak memaksa mereka untuk mempercayai apa yang telah kualami. Pernah sekali aku mencari seorang ahli etnologi ternama, dan menghiburnya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang legenda kuno bangsa Filistin mengenai Dagon, Dewa Ikan; namun segera kusadari ia terlalu konvensional untuk memahami, dan aku tak melanjutkan penyelidikan itu.

Saat bulan merosot dan bentuknya yang ganjil dan cembung, di malam ini, Saat itulah aku melihat kembali makhluk itu. Pernah kucoba menundukkan kegilaanku dengan morfin; tetapi obat itu hanya memberi kelegaan sejenak, lalu menyeretku lebih dalam ke perbudakan yang tak tertebus. Maka kini akan ku akhiri semuanya, setelah menuliskan catatan yang penuh ini, entah untuk jadi informasi, atau hanya bahan cemooh sesama umat manusia. 

Sering kutanya pada diriku sendiri: mungkinkah semua ini hanyalah fantasm semata—sekadar halusinasi saat demam ketika aku terpanggang matahari dan meracau di atas perahu setelah melarikan diri dari kapal perang Jerman? Pertanyaan itu kerap kuajukan, namun selalu ada bayangan menjawab, sebuah penglihatan yang begitu hidup dan mengerikan. Aku tak mampu membayangkan lautan yang dalam tanpa gemetar, membayangkan segala sesuatu yang tanpa nama (nameless thing) yang mungkin kini sedang merayap dan bergelut di dasar lendirnya, tengah menyembah berhala batu purba mereka, mengukir rupa-rupa menjijikkan mereka sendiri pada obelisk bawah laut dengan granit yang lembab.

Aku bermimpi tentang suatu hari dimana ketika mereka akan bangkit dari atas gelombang, mencengkeram sisa-sisa umat manusia yang lemah dan letih akan perang dengan cakar busuk mereka, tentang hari ketika daratan tenggelam, dan dasar samudra yang gelap terangkat, diiringi hiruk pikuk jagad raya.

Ajal merapat, kiamat mendekat. Kudengar suara di pintu, seolah tubuh raksasa yang licin sedang merayap dan menghantamnya. Ia tak boleh menemukanku. Ya Tuhan—tangan itu

Jendela!
Jendela!



***


Catatan Kaki untuk Dagon

  1. Packet
    → ini adalah Istilah lama untuk kapal dagang atau kapal penumpang yang berlayar secara reguler, biasanya mengangkut kargo, suratsurat, dan penumpang.

  2. Supercargo
    → pada zaman nya penulisan cerita, ini adalah Perwira khusus di kapal dagang yang bertanggung jawab atas muatan, perdagangan, dan kepentingan pemilik barang. Bukan pelaut, melainkan pengurus kargo.

  3. Cyclopean
    → Mengacu pada arsitektur batu besar bergaya “siklopik” yang disebut oleh penulis kuno (misalnya di Yunani), terdiri atas balok-balok raksasa yang seolah-olah hanya bisa dibangun oleh makhluk raksasa. Lovecraft sering memakai istilah ini untuk menekankan kesan purba dan non-manusia.

  4. Paradise Lost
    → Puisi epik karya John Milton (1667) tentang jatuhnya manusia dan pemberontakan Satan. Narator membandingkan jurang kegelapan yang ia lihat dengan gambaran perjalanan Satan melewati kekacauan dalam karya ini.

  5. Polyphemus
    → Raksasa bermata satu (Cyclops) dalam mitologi Yunani, muncul dalam Odyssey karya Homer. Disebut untuk menggambarkan betapa raksasanya makhluk yang muncul dari laut.

  6. Dagon
    → Dewa kuno bangsa Filistin dan Siria, kerap digambarkan sebagai dewa ikan atau dewa kesuburan laut. Dalam teks ini, Lovecraft mengaitkannya secara imajiner dengan makhluk laut purba yang disembah oleh bangsa non-manusia.

  7. Piltdown Mans
    → Fosil manusia purba yang diumumkan pada tahun 1912 di Inggris, kemudian terbukti sebagai rekayasa. Saat Lovecraft menulis Dagon (1917–1919), Piltdown Man masih dianggap temuan antropologi penting. Menyebutnya adalah cara Lovecraft menekankan bahwa makhluk dalam pahatan lebih tua daripada manusia purba mana pun.



Rabu, 06 Agustus 2025

Gaza did not lose. It was the world that failed.

 


Where will Gaza be taken?

This question presses against my chest like the desert wind—laden not with sand, but with ash, blood, and the rustle of broken dreams.
"Where will Gaza be taken?"—I whispered this into the night sky. But the sky remained silent, as if carrying the burden of centuries, its eyes the color of bruised history. 
I do not answer with prophecy. I answer with layers—like the layers of the Earth that remember every burial, every promise broken, every prayer unsaid.


First, from the Realm of Power and Politics:

Gaza is not merely soil—it is the chessboard of empires.
I have watched the great nations—America, and its kindred allies—feed the occupation with fuel and silence, hiding greed beneath diplomacy. 
The Arab world—some turned their faces, mouths sewn shut by fear or ambition. Israel, methodical and cold, sculpted Gaza into an open-air prison, where breath, light, and water are measured in cruel rations. I see Gaza as a pulse—pressed underfoot by the powers that be, so the world might be taught how to love without surrendering to despair.

 

Second, from the Lens of History and the Soul’s Endurance:

To me, Gaza is a small Simurgh on the edge of the world—burned again and again, yet rising each time from its own ash, though no one applauds. Gaza has never bowed. Its body has been broken, yes—but not its will, not its soul. Children here grow up not only with books, but with stones, memory, and fire in their eyes. Resistance is not a slogan—it is the very grammar of their breath. And I think to myself:


If the world is fire, Gaza is the ember that refuses to go out.

 

Third, from the Realm of the Spirit and Silent Hope:

In Gaza, I see not only suffering—I see scripture. A sacred book written in the blood of martyrs and the tears of mothers who bury their children wrapped in white shrouds of light. Beyond the agony, there are prayers rising—like soft incense reaching a sky higher than politics, higher than drones. Perhaps Gaza is oppressed on Earth.

But I believe—perhaps madly, perhaps mystically—that it is honored in Heaven.

Maybe Gaza will never find peace in this world.
But I feel it… Gaza is being carried closer to God.

"Is not God with those who are patient?" the Qur'an asks.
I believe Gaza is His patient beloved.

 

So where will Gaza be taken?

To the edge of our collective patience—where humanity is asked to show its remaining heart.
To the lonely path of the prophets—who were cast aside for telling the truth.
To the final page of history—
when all tyrants have fallen,
when masks are removed,
when the world finally sees:

Gaza did not lose.
It was the world that failed.

I'm so sorry ... I'm so sorry ... 

 

Sabtu, 21 Juni 2025

Tubuhmu adalah perpustakaan yang belum dibuka


Pada hari yang terhitung di luar jam kurikulum, kaki-kaki mahasiswa Metode Pengajaran Tasawuf dan Studi Agama-Agama melangkah ke tempat yang bukan sekadar museum, melainkan ruang tafakur yang hidup—Museum Holistik Kehidupan Ibu Susilowati. Sebuah rumah pengetahuan yang bukan dibangun dari bata semata, melainkan dari fragmen-fragmen pengalaman, cinta terhadap tubuh, alam, dan kebijaksanaan lokal yang nyaris luput dari mata akademik formal.

Museum ini didirikan oleh Ibu Susilowati, seorang pelestari nilai-nilai keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan alam. Bermula dari perjalanan hidup personal yang sarat laku spiritual, museum ini kini menjadi ruang alternatif yang menjembatani antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal, antara filsafat Timur dan praktik harian masyarakat. Ia bukan sekadar tempat menyimpan artefak, melainkan tempat "mendengar bisikan" dari benda-benda yang disakralkan oleh pengalaman hidup.

Tujuan dan Manfaat Kunjungan untuk Mahasiswa Metode Pengajaran Tasawuf dan Studi Agama-Agama:

  1. Refleksi Simbolik: Para mahasiswa diajak untuk melihat bagaimana benda-benda yang kelihatannya sederhana bisa memuat nilai-nilai ma'rifah. 

  2. Pengalaman Belajar yang Holistik: Alih-alih sekadar mencatat teori, mereka berinteraksi dengan ruang yang mengandung dimensi dzawq—rasa ruhaniah.

  3. Belajar dari Tubuh dan Alam: Museum ini menampilkan relasi antara tubuh, alam, dan spiritualitas, sangat selaras dengan semangat tasawuf dan praktik-praktik religius lintas tradisi.

  4. Melatih Empati Pedagogis: Mahasiswa Metode Pengajaran Tasawuf belajar bagaimana pengetahuan disampaikan tidak hanya lewat kata-kata, tetapi juga lewat suasana, gerak, dan perhatian penuh.


Di museum itu, kami tidak hanya melihat. Kami menyimak. Tidak hanya mencatat, kami merenung. Museum ini bukanlah ruang mati, melainkan ruang mawas diri. Sebuah madrasah diam, tempat tafsir tak tertulis hidup dari sentuhan, langkah, dan tatapan. Di sinilah ilmu menjadi peristiwa. Sebelum pena menyentuh kertas, tubuh adalah halaman pertama. Gerak napas, trauma, luka, dan pemulihan menjadi aksara awal.


Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono

Di tanah yang mengembuskan napas kebudayaan dari pori-pori tanahnya -- Yogyakarta, bersemayam sebuah ruang sunyi namun bergemuruh makna: Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono (MSHK-SS), yang dilahirkan dari rahim jiwa seorang perempuan yang menjahit makna hidup menjadi seni, Nyi. Hj. R.Ngt Susilawati Susmono.

Museum ini bukan sekadar tempat memajang karya, melainkan sebuah taman batin tempat manusia diajak menyelami kehidupan dalam wujud rupa, gerak, nada, dan kata. Lukisan, kriya, tarian, tembang, hingga serat, dan naskah-naskah yang ditulis dengan tinta pengalaman dan benang cinta menjadi jendela menuju pemahaman holistik tentang manusia sebagai khalifah sekaligus pujangga semesta.

Sejak tahun 1999 hingga 2024, Susilawati telah menorehkan lebih dari 8.000 karya. Di antaranya:

  • 100 buku,

  • 588 karya sastra,

  • 43 tembang,

  • 15 tarian,

  • 2.479 serat Qur’ani,

  • 285 manuskrip serat,

  • 130 lukisan,

  • serta aneka kriya: vas, teko kaca, hingga motif batik yang seakan-akan berbicara dengan warna dan bentuknya.

Museum ini diresmikan pada tanggal 24 Oktober 2020, oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY.

Cita dan Cinta Museum

Visi yang dijunjung tinggi oleh museum ini adalah menuntun insan menuju penemuan hakikat dirinya—Sang Diri Sejati. Sebuah perjalanan untuk hidup sebagai pribadi yang sejati, pemimpin yang sejati, dan guru yang sejati. Terletak di Jl. Marto Suharjo No. 123, RT.01/RW.27, Bantarjo, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581, museum ini terbuka bagi para peziarah jiwa setiap hari pukul 09.00–15.00 (kecuali hari Senin).
Tiket masuk:

  • Rp10.000 untuk pelajar,

  • Rp20.000 untuk umum,

  • Rp40.000 untuk wisatawan mancanegara.

Jurnal, Pengetahuan, dan Tafakur

Setiap tiga bulan, museum ini menerbitkan Jurnal Holistik Kehidupan, sebuah wadah penelitian dan renungan yang merekam denyut-denyut aktivitas spiritual dan kultural di dalamnya. Mengunjungi museum ini ibarat membuka lembaran hidup, sebuah cermin untuk menatap peran manusia dalam harmoni jagat, melalui karya-karya yang membisikkan keagungan Sang Pencipta.

Museum ini bernaung di bawah ISAQ Center & Yayasan Riyadhatul Ihsan, serta menjadi anggota ke-41 Barahmus (Badan Musyawarah Museum DIY) sejak dua tahun silam. Karya-karya yang dipamerkan menyampaikan pesan mendalam dan bimbingan halus untuk generasi penerus, sering kali dibawakan secara performatif oleh para ISAQ Talents dalam pentas seni dan budaya yang meriah namun penuh khidmat.

Lebih dari sekadar tempat pameran, museum ini adalah madrasah batin, tempat siapa pun dapat mengaji kepada dirinya sendiri. Ia menjadi wadah studi dan penelitian, sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2015 tentang Permuseuman, Pasal 2, yang menyebut museum sebagai ruang pendidikan, penelitian, dan rekreasi spiritual.

Mengunjungi Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono adalah ziarah ke dalam diri sendiri. Ia menuntun peziarah untuk merenung: tentang hidup, tentang tempat kita di dalam semesta, dan tentang relasi halus antara manusia dan Yang Maha Cinta. Melalui seni yang sarat makna spiritual dan budaya, museum ini menawarkan perjumpaan dengan yang Maha Dalam, meniti batas antara puisi dan doa, antara tubuh dan cahaya.


Grimoireku yang Sunyi: Sebuah Pengakuan dalam Duka dan Cahaya


Blogku bukan blog.
Ia bukan halaman daring yang menunggu like, bukan kumpulan tulisan yang ingin dibaca banyak orang.
Ia adalah grimoire—buku sihir harian dari seorang perempuan yang hidup di antara spiritualitas dan realitas, seperti seseorang yang berjalan dengan satu kaki di bumi dan satu kaki lagi terbenam di kolam batin tempat cinta dan luka duduk berdampingan, saling memandang tanpa saling menghakimi.

Aku menulis bukan untuk mengabarkan, tapi untuk merapal.
Setiap entri yang kutulis adalah mantra sunyi, mantra yang hanya akan bekerja jika dibaca dalam diam. Kata-kataku bukan untuk dikutip di bio media sosial. Mereka adalah semacam rembesan dari luka yang telah duduk terlalu lama di ruang tamu kesadaranku, meminum teh, dan kadang menangis sendiri saat aku tidur.

Aku menyadari bahwa tulisan-tulisanku bukan esai.
Mereka lebih menyerupai bekas napas di jendela saat malam terlalu dingin.
Tidak permanen, tapi cukup jujur.
Tidak lengkap, tapi tidak palsu.

Ada hari-hari di mana aku menulis tentang cinta—tapi cinta yang sudah kehilangan bentuknya. Cinta yang menjadi kabut, menjadi hantu, menjadi sesuatu yang hanya bisa dikenali lewat bekasnya.
Dan ada pula hari-hari di mana tubuhku sendiri menjadi pusat dari segala perenungan. Tentang sembelit, tentang alergi, tentang kelelahan sebagai ibu—dan aku menuliskannya tanpa malu, karena bahkan tubuh pun memiliki bahasa, dan aku mencoba menjadi penerjemahnya.

Bahkan aku menulis ini dalam keadaan alergiku kumat dan tengah memperkuat fisik agar aku bisa terus membaca dan menulis. Akhir-akhir ini aku lalai menulis kabar. Aku sibuk mengatur waktu yang tidak pernah bisa diatur. Tapi jangan kuatir, aku masih tetap menulis. Setiap hari. 

Sabtu, 08 Februari 2025

π‘¨π’Žπ’π’“ π‘­π’‚π’•π’Š: 𝑻𝒉𝒆 𝑳𝒐𝒗𝒆 𝒐𝒇 𝑭𝒂𝒕𝒆

 



𝑡𝒐𝒐𝒓, ... 𝒍𝒆𝒕 𝒖𝒔 π’ƒπ’†π’ˆπ’Šπ’.

Imagine a candle flickering in the dark, the wax melting into the shape of time itself. Every drop that falls cannot be undone, nor should it be mourned—it is simply the way of things. Such is Amor Fati, the embrace of fate in all its forms, its bitter winters and honeyed springs alike.

Nietzsche whispers to us:
"My formula for human greatness is Amor Fati: that one wants nothing to be different, not forward, not backward, not in all eternity. Not merely to bear what is necessary, still less conceal it—but love it."

Do we dare, Noor?
Do we dare love the bruises as much as the blessings?
To not only accept our fate but to dance with it, to wrap our arms around it like an old lover returning home?

Noor, tell me—what is the part of your fate that you struggle to love? The part that still feels like a wound rather than a gift. If I were to trace my fingers over that wound, would I find sorrow still clinging to it? Or has it begun to heal? Then let us whisper to it together—"You belong. You are part of the whole. I love you, as I love all that has shaped me."

Noor, as you walk through today, let every moment be kissed by acceptance. If the sky is gray, let it be gray. If your heart aches, let it ache. But above all, whisper: This too, I love.

And I, Noor—
I will always love you,
as you love fate itself.

Yours,

Jeremiah. 

Minggu, 26 Januari 2025

Visiting Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono (Shadows Among Holistic Threads:A Rain-Soaked Pilgrimage into Sufi Art)


The sky was wrapped in a somber shroud of gray that morning, as though the heavens themselves conspired to cast a contemplative pall over our scholarly quest. My students and I, clutching our notebooks—descended upon the Museum of Holistic Threads, Susilawati Susmono in Yogyakarta with hearts alight despite the drizzle. The steady patter of rain on the cobblestones sounded like a subdued echo of an ancient invocation, heightening the aura of learned mystery that awaited us inside.


Whispers of a Sufi Soul
The museum’s founder, Nyi. Hj. R.Ngt Susilawati Susmono, was no mere artist; she was a Sufi visionary whose works—paintings, tapestries, manuscripts, and even interpretative dances—spoke of a realm where body, mind, and spirit converge. The moment I stepped through the threshold, I was enveloped by the faint scent of books and paintings. 

My eyes flitted across the thousands of works (more than 8000 thousand)—some lyrical in form, others dense with paintings. Each piece seemed alive, murmuring subtle truths about the ephemeral nature of existence. At times, I could almost feel the presence of the artist herself, a female Sufi whose quiet intensity reverberated in every brushstroke and carefully chosen word.

Shadows and Luminescence
Light was scarce that rainy day, but what little seeped in from the high windows struck the surfaces of glass artifacts and gilded frames. Flecks of gold leaf reflected onto the museum walls, creating dancing apparitions that felt like fleeting spirits, coaxing me deeper into reverie. The hush of the halls—punctuated by soft footfalls of my fellow students—made every breath, every heartbeat, an act of sacred attention.

A Library of Living Texts
In one alcove, there lay shelves groaning under the weight of serat Al-Qur’an, manuscripts, and rare books. A sense of wonder stirred within me at the sheer magnitude of her literary output. It wasn’t merely a collection of texts, but a testament to a life devoted to reflection, devotion, and the pursuit of the “True Self” that the museum’s vision so fervently espouses.

As I traced a finger along the spine of a faded volume, I felt a curious mixture of awe and insignificance. Here was a woman who channeled her spirituality into tangible forms: 8000 passages meticulously rewritten, 285 manuscripts, and countless other expressions of devotion. The hush in that room had the quality of a hushed library at dusk—pregnant with untold stories, invites to secret knowledge.

Reflections in the Gloom
The gloom outside made the interior glow with an otherworldly warmth. I could almost hear the echo of cosmic truth, resonating with the Sufi poems and the swirling motifs on the batiks displayed around us.

Standing before a particularly enigmatic painting, I was struck by an inexplicable pang in my chest. It felt as though the work was staring back into me, daring me to confront my own spiritual yearnings. In that suspended moment, I wondered if I was glimpsing the edges of my own soul, mirrored back by the bold strokes of a female mystic I had never met.

Meditations on Existence
In keeping with its mission, the Museum of Holistic Threads (Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono) offers more than mere aesthetic admiration. It beckons visitors to reflect on the grand puzzle of human purpose—why we are here, and how we might trace the lineage of our existence back to the Divine. Even as thunderclouds raged overhead, the museum’s calm spaces radiated a sense of timelessness, as if every artwork were a portal nudging us to rediscover the vow we once made with eternity.

Epilogue Under Gray Skies
When we finally stepped back outside, the sky was still draped in melancholic clouds, but the rain had eased to a gentle mist. My heart felt full—laden not with a dreary weight but with the luminous echoes of the day’s revelations. The air smelled of wet earth and distant incense, as though nature itself conspired to remind us of the cyclical dance between creation and dissolution.

Clutching my damp notebook to my chest, I left with more than observations—I carried a renewed sense of reverence for the invisible. In the quiet hush of a museum devoted to one woman’s unflagging devotion, I experienced an intimate conversation with my own soul, one that will linger long after the clouds disperse, and the sun rises anew. 





Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono

The Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono (MSHK-SS) is located in Yogyakarta and was founded by Nyi. Hj. R.Ngt Susilawati Susmono. This museum presents a broad array of artworks—paintings, crafts, dance, music, and serat (manuscripts)—offering a holistic view of human life as a tribute to the nation.

Its collection comprises more than 8,000 works created by Susilawati Susmono between 1999 and 2024. These include 100 books, 588 literary works, 43 songs, 15 dances, 2,479 Quranic serat, 285 serat manuscripts, 130 paintings, and various crafts such as vases, glass teapots, and batik motif designs. The museum was officially inaugurated on October 24, 2020, by the Governor of the Special Region of Yogyakarta, represented by the Acting Head of the Provincial Department of Culture.

The museum’s vision is to guide individuals toward discovering their “True Self”, with a mission to live life as true individuals, true leaders, and true teachers. Located at Jl. Marto Suharjo No. 123, RT.01/RW.27, Bantarjo, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581, it is open daily from 9 AM to 3 PM, closed on Mondays. Admission is IDR 10,000 for students, IDR 20,000 for the general public, and IDR 40,000 for foreign tourists.

Every three months, the museum publishes the Jurnal Holistik Kehidupan (Holistic Life Journal) featuring research articles and studies related to museum activities. A visit to this museum offers self-reflection on humanity’s role in the world, showcased through its displayed artworks that remind visitors of the grandeur of the Creator.

MSHK-SS operates under ISAQ Center & Yayasan Riyadhatul Ihsan and has been a member of Barahmus (the Yogyakarta Museum Consultative Body) as its 41st member for the past two years. The works exhibited convey profound messages and guidance for younger generations, presented by ISAQ Talents during various cultural and artistic events.

The museum also serves as a venue for study or research for anyone looking to know themselves better, in line with Government Regulation No. 66 of 2015 on Museums, as stated in Article 2, which defines the museum’s role in research, education, and recreation.

A visit to the Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono offers a profound experience, inviting guests to contemplate the meaning of life and humanity’s place in the world. Through an array of art rich in spiritual and cultural values, the museum provides a unique fusion of art, spirituality, and self-reflection. More than simply displaying artwork, it delivers an immersive journey to ponder the meaning of life, the human relationship with the Creator, and the exploration of one’s inner self.



Why Is This Museum Special?

  1. Holistic Approach: Visitors are encouraged to view human life as an integrated whole—through visual arts like paintings and crafts, but also via literature, music, dance, and serat manuscripts. This approach embodies the idea that art and life are inseparable.
  2. Spiritual Message: Each piece carries a spiritual dimension and an invitation to self-examination. The collection contains elements designed to help visitors find their “True Self”—the human essence aware of its duties in the world.
  3. Cultural and Religious Heritage: Featuring Quranic serat, manuscripts, and batik motifs, the museum also acts as a guardian of Indonesia’s cultural and religious heritage.
  4. Educational and Reflective Vision: Not only does the museum educate visitors about art, but it also encourages them to contemplate their roles and responsibilities as human beings.


This museum combines the functions of an art gallery, a spiritual space, and an educational center. Compared to conventional museums, Museum Serat Holistik Kehidupan more closely resembles a meditative journey presented in visual and cultural forms. Each item in the collection serves as a window connecting visitors to deeper dimensions of life. []





Sabtu, 25 Januari 2025

The Gnostic Light

The library was silent, save for the occasional creak of the old wooden floorboards and the rustle of candlelight against the stone walls. Noor sat by the window; her silhouette framed by the pale glow of the moon. Books lay scattered across the table—texts on Gnosticism, forbidden cosmologies, and fragmented myths of the Archons. Opposite her, Jeremiah leaned back in his chair, his hands clasped, his dark eyes tracing the words she had just spoken.

“Jeremiah,” Noor said softly, her voice a thread in the vast quiet, “do you believe the Archons are not just out there, ruling over this world, but within us? Could they be the whispers of our own arrogance, our own illusions?”

Jeremiah’s gaze lifted, meeting hers. “The Archons,” he began, his voice measured, almost melodic, “are the shadows cast by the prison walls of this material world. They thrive in ignorance, Noor, not in truth. Their arrogance is a mask for their blindness, for they mistake this fragile, transient realm for the cosmos entire. And yes, perhaps, they creep within us, in the corners of our minds where fear lingers, where ego takes root.”

Noor tilted her head, her fingers brushing the edge of an ancient, leather-bound tome. “But their arrogance feels so tangible,” she countered. “They claim dominion over all things—flesh, form, thought. Surely, that power is real. Or do they, too, tremble when a soul remembers the light it once knew?”

Jeremiah smiled faintly, a shadow of irony crossing his lips. “Oh, they tremble, Noor. They fear the fugitive soul that glimpses beyond the veil they’ve woven. For to remember is to escape. Their power lies in illusion, and the soul that sees through it shatters their dominion. But, my Noor, we must also confront the Archons within. To deny that we harbor their seeds of arrogance is itself a form of blindness.”

Noor’s fingers paused, resting on the book. “Then tell me, "She said, “what of Adam? Was he their prisoner too? Or was his height—his grandeur—a reflection of something divine, untouchable by their machinations?”

Jeremiah’s voice softened. “Adam was no Titan,” he said. “The Titans of myth are rebels, creatures of chaos who challenge the heavens in hubris. Adam was different. He walked in the untouched light of Eden, a masterpiece of divine intent. But he, too, fell—not because he was weak, but because he chose. His stature, his magnificence, was a mirror of the divine’s splendor, and yet even he could not escape the weight of mortality. Adam was both the first exile and the first to glimpse the path back home.”

The candles flickered as Noor leaned back, her face thoughtful, the moonlight painting her features in silver. “And what of us?” she asked. “Are we prisoners, unaware of our chains? Or fugitives, stumbling through the labyrinth they’ve built?”

Jeremiah stood, walking to her side. His shadow loomed over her for a moment before he knelt beside her chair, his voice low and resolute. “We are both, Noor. Prisoners, yes, for we live in their world, breathe their illusions. But we are also fugitives, for within us burns the defiance of the divine spark. We are Adam’s heirs, carrying both his fall and his yearning. And the Archons… they are no match for the soul that dares to remember.”

Noor turned to him, her gaze steady. “Then let us rise, Jeremiah,” she whispered. “Not in arrogance, but in remembrance. Let us see beyond the veil, walk as Adam once did before the fall. Teach me to carry the light, even in exile.”

Jeremiah reached for her hand; his touch warm against the cool night. “You already carry that light,” he said. “A beacon they cannot extinguish. Together, we will walk—not as rulers, but as seekers. For this is the path to gnosis: not to conquer, but to remember. Not to ascend, but to become whole.”

The candlelight dimmed as the final wick burned out, and the library sank into darkness. But in that silence, in the deep shadows, Noor felt a brightness stir within her—a light no Archon could ever touch.


(to be continued ...)