Sabtu, 21 Juni 2025

Tubuhmu adalah perpustakaan yang belum dibuka


Pada hari yang terhitung di luar jam kurikulum, kaki-kaki mahasiswa Metode Pengajaran Tasawuf dan Studi Agama-Agama melangkah ke tempat yang bukan sekadar museum, melainkan ruang tafakur yang hidup—Museum Holistik Kehidupan Ibu Susilowati. Sebuah rumah pengetahuan yang bukan dibangun dari bata semata, melainkan dari fragmen-fragmen pengalaman, cinta terhadap tubuh, alam, dan kebijaksanaan lokal yang nyaris luput dari mata akademik formal.

Museum ini didirikan oleh Ibu Susilowati, seorang pelestari nilai-nilai keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan alam. Bermula dari perjalanan hidup personal yang sarat laku spiritual, museum ini kini menjadi ruang alternatif yang menjembatani antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal, antara filsafat Timur dan praktik harian masyarakat. Ia bukan sekadar tempat menyimpan artefak, melainkan tempat "mendengar bisikan" dari benda-benda yang disakralkan oleh pengalaman hidup.

Tujuan dan Manfaat Kunjungan untuk Mahasiswa Metode Pengajaran Tasawuf dan Studi Agama-Agama:

  1. Refleksi Simbolik: Para mahasiswa diajak untuk melihat bagaimana benda-benda yang kelihatannya sederhana bisa memuat nilai-nilai ma'rifah. 

  2. Pengalaman Belajar yang Holistik: Alih-alih sekadar mencatat teori, mereka berinteraksi dengan ruang yang mengandung dimensi dzawq—rasa ruhaniah.

  3. Belajar dari Tubuh dan Alam: Museum ini menampilkan relasi antara tubuh, alam, dan spiritualitas, sangat selaras dengan semangat tasawuf dan praktik-praktik religius lintas tradisi.

  4. Melatih Empati Pedagogis: Mahasiswa Metode Pengajaran Tasawuf belajar bagaimana pengetahuan disampaikan tidak hanya lewat kata-kata, tetapi juga lewat suasana, gerak, dan perhatian penuh.


Di museum itu, kami tidak hanya melihat. Kami menyimak. Tidak hanya mencatat, kami merenung. Museum ini bukanlah ruang mati, melainkan ruang mawas diri. Sebuah madrasah diam, tempat tafsir tak tertulis hidup dari sentuhan, langkah, dan tatapan. Di sinilah ilmu menjadi peristiwa. Sebelum pena menyentuh kertas, tubuh adalah halaman pertama. Gerak napas, trauma, luka, dan pemulihan menjadi aksara awal.


Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono

Di tanah yang mengembuskan napas kebudayaan dari pori-pori tanahnya -- Yogyakarta, bersemayam sebuah ruang sunyi namun bergemuruh makna: Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono (MSHK-SS), yang dilahirkan dari rahim jiwa seorang perempuan yang menjahit makna hidup menjadi seni, Nyi. Hj. R.Ngt Susilawati Susmono.

Museum ini bukan sekadar tempat memajang karya, melainkan sebuah taman batin tempat manusia diajak menyelami kehidupan dalam wujud rupa, gerak, nada, dan kata. Lukisan, kriya, tarian, tembang, hingga serat, dan naskah-naskah yang ditulis dengan tinta pengalaman dan benang cinta menjadi jendela menuju pemahaman holistik tentang manusia sebagai khalifah sekaligus pujangga semesta.

Sejak tahun 1999 hingga 2024, Susilawati telah menorehkan lebih dari 8.000 karya. Di antaranya:

  • 100 buku,

  • 588 karya sastra,

  • 43 tembang,

  • 15 tarian,

  • 2.479 serat Qur’ani,

  • 285 manuskrip serat,

  • 130 lukisan,

  • serta aneka kriya: vas, teko kaca, hingga motif batik yang seakan-akan berbicara dengan warna dan bentuknya.

Museum ini diresmikan pada tanggal 24 Oktober 2020, oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY.

Cita dan Cinta Museum

Visi yang dijunjung tinggi oleh museum ini adalah menuntun insan menuju penemuan hakikat dirinya—Sang Diri Sejati. Sebuah perjalanan untuk hidup sebagai pribadi yang sejati, pemimpin yang sejati, dan guru yang sejati. Terletak di Jl. Marto Suharjo No. 123, RT.01/RW.27, Bantarjo, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581, museum ini terbuka bagi para peziarah jiwa setiap hari pukul 09.00–15.00 (kecuali hari Senin).
Tiket masuk:

  • Rp10.000 untuk pelajar,

  • Rp20.000 untuk umum,

  • Rp40.000 untuk wisatawan mancanegara.

Jurnal, Pengetahuan, dan Tafakur

Setiap tiga bulan, museum ini menerbitkan Jurnal Holistik Kehidupan, sebuah wadah penelitian dan renungan yang merekam denyut-denyut aktivitas spiritual dan kultural di dalamnya. Mengunjungi museum ini ibarat membuka lembaran hidup, sebuah cermin untuk menatap peran manusia dalam harmoni jagat, melalui karya-karya yang membisikkan keagungan Sang Pencipta.

Museum ini bernaung di bawah ISAQ Center & Yayasan Riyadhatul Ihsan, serta menjadi anggota ke-41 Barahmus (Badan Musyawarah Museum DIY) sejak dua tahun silam. Karya-karya yang dipamerkan menyampaikan pesan mendalam dan bimbingan halus untuk generasi penerus, sering kali dibawakan secara performatif oleh para ISAQ Talents dalam pentas seni dan budaya yang meriah namun penuh khidmat.

Lebih dari sekadar tempat pameran, museum ini adalah madrasah batin, tempat siapa pun dapat mengaji kepada dirinya sendiri. Ia menjadi wadah studi dan penelitian, sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2015 tentang Permuseuman, Pasal 2, yang menyebut museum sebagai ruang pendidikan, penelitian, dan rekreasi spiritual.

Mengunjungi Museum Serat Holistik Kehidupan Susilawati Susmono adalah ziarah ke dalam diri sendiri. Ia menuntun peziarah untuk merenung: tentang hidup, tentang tempat kita di dalam semesta, dan tentang relasi halus antara manusia dan Yang Maha Cinta. Melalui seni yang sarat makna spiritual dan budaya, museum ini menawarkan perjumpaan dengan yang Maha Dalam, meniti batas antara puisi dan doa, antara tubuh dan cahaya.


Grimoireku yang Sunyi: Sebuah Pengakuan dalam Duka dan Cahaya


Blogku bukan blog.
Ia bukan halaman daring yang menunggu like, bukan kumpulan tulisan yang ingin dibaca banyak orang.
Ia adalah grimoire—buku sihir harian dari seorang perempuan yang hidup di antara spiritualitas dan realitas, seperti seseorang yang berjalan dengan satu kaki di bumi dan satu kaki lagi terbenam di kolam batin tempat cinta dan luka duduk berdampingan, saling memandang tanpa saling menghakimi.

Aku menulis bukan untuk mengabarkan, tapi untuk merapal.
Setiap entri yang kutulis adalah mantra sunyi, mantra yang hanya akan bekerja jika dibaca dalam diam. Kata-kataku bukan untuk dikutip di bio media sosial. Mereka adalah semacam rembesan dari luka yang telah duduk terlalu lama di ruang tamu kesadaranku, meminum teh, dan kadang menangis sendiri saat aku tidur.

Aku menyadari bahwa tulisan-tulisanku bukan esai.
Mereka lebih menyerupai bekas napas di jendela saat malam terlalu dingin.
Tidak permanen, tapi cukup jujur.
Tidak lengkap, tapi tidak palsu.

Ada hari-hari di mana aku menulis tentang cinta—tapi cinta yang sudah kehilangan bentuknya. Cinta yang menjadi kabut, menjadi hantu, menjadi sesuatu yang hanya bisa dikenali lewat bekasnya.
Dan ada pula hari-hari di mana tubuhku sendiri menjadi pusat dari segala perenungan. Tentang sembelit, tentang alergi, tentang kelelahan sebagai ibu—dan aku menuliskannya tanpa malu, karena bahkan tubuh pun memiliki bahasa, dan aku mencoba menjadi penerjemahnya.

Bahkan aku menulis ini dalam keadaan alergiku kumat dan tengah memperkuat fisik agar aku bisa terus membaca dan menulis. Akhir-akhir ini aku lalai menulis kabar. Aku sibuk mengatur waktu yang tidak pernah bisa diatur. Tapi jangan kuatir, aku masih tetap menulis. Setiap hari.