Senin, 10 Juni 2013

Paul dan Paula (sebuah kisah di kereta)

Diambil dari petikan kisah Paul dan Paula (novel Aida Vyasa -- belum terbit)
Sepotong kisah di bulan September 2006.



Perkenankan aku untuk bercerita apa yang dialami Paula hari ini.
11 September 2006 (Yogya-Solo)

Siang tadi, aku – Paula, terseok-seok haus saat menunggu kereta express menuju kampung halaman. Mataku yang rabun karena kelelahan, cukup kuat untuk melihat Paul yang menuju kereta yang sama yang kunaiki. Ia tersenyum, dan tanpa banyak kata langsung duduk di sampingku. Aku yang merasa sedikit canggung atas perasaan yang pernah bersemi, tanpa basa-basi, hanya membalas senyumannya dengan senyuman. Seperti layaknya orang asing, kami pun tak banyak berbicara ketika kereta mulai kencang lajunya. Lima belas menit pertama kami juga tak bertukar sepatah kata pun.
Kulirik dari sudut mata kalau pandangannya jauh ke depan, dan aku pun menyandarkan kepalaku ke dekat jendela. Aku mulai menutup mata, dan siap untuk ke alam mimpi. Dihantar oleh guncangan kereta yang melaju, bisa kurasakan kaki Paul yang menyentuh kakiku. Guncangan yang alami itu membuat kaki-kaki bergeser secara alami. Akupun berpura-pura terlelap sembari merasakan desakan lembut kaki Paul yang menyentuh kakiku yang sama-sama terbalut pakaian rapi dan tebal karena musim mangga yang dingin. Aku menikmatinya, dan ketika aku berusaha untuk menarik kakiku dan merapat, ia pun seolah mencari sandarannya yang bergesar. Permainan tarik ulur ini kami lakukan dengan mata terpejam dan keterpura-puraan. Aku bisa merasakan kalau Paul melakukan hal yang sama denganku. Kami mengindahkan keadaan sekitar, pura-pura terlelap, dan kaki-kaki kami saling bersinggungan karena guncangan.
Perlahan aku merasakan lengannya yang menyentuh lenganku. Kemudian kurasakan aura tubuhnya yang makin mendekat dan mengoyak aura penjagaanku. Selama tiga detik kubuka mataku untuk melihat apa yang terjadi antara aku dan dia, dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat kepalanya berjarak sekitar 15 cm dari pundakku. Ia seperti terayun-ayun untuk menyandarkan kepalanya ke diriku. Aku pun juga tak sabar untuk menerimanya. Aku kembali memejamkan mata sebelum orang melihat. Sambil berharap ia menyandarkan kepalanya ....

Kereta berhenti. Gerakannya menghentak.
Aku terbangun, dan kudapati Paul yang telah menyandarkan kepalanya di pundakku. Perlahan ia pun bangun dan menatapku. Tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Paul adalah dosenku sewaktu aku di SMU dulu. Aku pernah diam-diam mencintainya. Dan meski ia mengetahui perasaanku ini, tetap saja ia menjadi guru pembimbingku sewaktu menyusun tugas akhir sekolah. Aku melihatnya sebagai alasan untuk lebih dekat denganku. 

Seperti dosa-dosa yang biasa terjadi pada diri manusia, aku pun merasa ketagihan. Paul pun juga. Sebelum berpisah, kami berjanji akan bertemu di gerbong kereta yang sama. Mungkin sebuah harapan agar permainan bisa dilanjutkan.

Tuhan, kami tidak bercinta ... it’s only as if we did.

After all we are all ordinary people
God only knows which is which and who is who


1 komentar:

  1. Gambar dari rumah lama?
    http://valhallander.blogspot.com

    Andai saja, Multiply tidak memusnahkan semua postingan.

    Keretaku ada di MP :(

    BalasHapus