Rabu, 26 Juni 2013

TAK ADA CINTA DALAM KISAH INI (tak ada kata CINTA pula dalam kisah ini)

Namanya Isa. Aku mengenalnya entah darimana aku sendiri tetiba lupa. Kita bercerita banyak hal. Hanya lewat telepon tapi tak pernah merencanakan sebuah pertemuan. 


Suatu hari ia menanyakan apakah aku ada kegiatan hari Kamis malam. Aku menjawab, 'Aku baca doa Kumayl hingga selepas Isya' lalu makan malam dan mungkin mengerjakan tugas kuliah.' Saat itu aku masih kuliah, umur 23 tahun. Sehari setelah hari Kamis, ia tak ada kabar. Kemudian dua hari sesudahnya, ia tak berkabar. Biasanya malam minggu kita akan nonton film bareng. Dia di sana. Aku di sini. Aku bahkan tak tahu ia tinggal di mana. Tapi kini tiada kabar. Aku memberanikan diri, meneleponnya dengan harap ia mau menjelaskan mengapa sekian lama tak menanyakan kabarku, meski lucu kalau cuma sehari dua hari tak berkabar lalu aku cemas seperti kasmaran. 

Teleponku tak diangkat. 
Aku telepon lagi. 
Tak diangkat. 
Lagi. 
Masih tak diangkat. 
Lagi.
Tak ada jawaban.
Berkali-kali, lagi.
Tetap tak ada jawaban.


Tiga hari tanpa kabar.
Empat hari. 
Lima hari. 
Enam hari. 

Esoknya, dia telepon. Tanpa rasa bersalah, ia memintaku untuk mau menemuinya. 
Aku cuma bisa bilang, 'okay' ... tanpa menanyakan kembali mengapa ia sudah sekian hari tanpa kabar. Rasanya marah sedih bahagia kangen kecewa jadi satu. 

Dan hari pertemuan itu pun datang. 
Hari itu, aku datang lebih awal dari dia. Cukup menunjukkan kalau aku menantikan ini semua. Bertemu dengan seseorang yang setiap hari berbagi buku harian. Ya. Aku menantikan ini, sangat. 
Dan ia pun muncul. Sosok yang tak terbayangkan sebelumnya. Aku belum pernah melihat sebelumnya. Jelas ia bukan orang dari masa laluku. Seseorang yang asing, yang ketika ia memanggil namaku, 'Zahrana ...' nampak tak asing lagi. 

'Hi' kita pun saling menyapa.

Kita menghabiskan waktu yang kita miliki hari itu. 
Sarapan pagi.
Jalan-jalan ke lapak buku di bawah pohon dan membicarakan buku-buku bekas yang dijual.
Duduk di bawah pohon dan bercanda.
Jalan-jalan ke lapak kaset bekas dan membicarakan kaset-kaset bekas yang dijual.
Duduk di bawah pohon dan makan siang.
Jalan-jalan menuju suatu tempat dan duduk sunyi sambil menahan hati gejolak dengan nyeri.

... dan kita bertukar pandangan, wajahnya nampak sedih tapi aku tak menanyakan hal itu padanya. 
kita duduk sunyi hingga senja tiba dan matahari terbenam. aku pun pulang. 

'Pak, antarkan kekasihku ini pulang dengan aman sampai rumahnya ya ...' ia berpesan pada taksi yang mengantarkanku pulang. Aku tersenyum rindu menyerang meski wajahnya masih di hadapanku. Ini sebuah rasa. Tapi masih ada yang hilang. Entah apa yang hilang. 

Aku pun pulang tertidur pejam mata dan terbayang senyumku sendiri. Indah sekali senyumku saat bersamanya. Sepertinya aku bahagia. Sangat. Tidak bisa kugambarkan senyum apa yang menempel padaku saat itu. Hingga matahari menyinar masuk kamar, aku masih terbangun dalam keadaan mengagumi senyumku sendiri. 

Mandi, senyum
Sarapan, senyum.
Ambil tas, buka pintu, jalan ke tempat kerja magang, (dengan) senyum. 
Melewati etalase toko, senyum. 
Aku cantik sekali. 
Senyumku.

Tiba di kantor,

'Zahrana, ada yang menitipkan ini untukmu' sapa teman kerjaku. 
'Siapa?' tanyaku. dan tak seorang pun tahu siapa yang menitipkan sebuah amplop coklat itu. 
Aku menuju mejaku dan kubuka cepat-cepat. 

Dan betapa kagetnya, sebuah buku dengan judul yang menusuk: BAHAYA SYIAH.


'Isa?' 

ada surat kecil, 
'Kita bertemu lagi jika kita sudah seiman. Sekarang, selamat tinggal.'

Waktu bagai terhenti. 
Rasanya marah sedih bahagia kangen kecewa jadi satu. 
Masih terngiang saat suaranya menyebutku, 'kekasih'.
Masih terngiang suara dering telepon.
Kadang aku mendengarnya meski telepon sudah kucabut.
Kadang masih terdengar meski telepon sudah kumasukkan lemari.
Dan lagilagi masih terdengar telepon meski ia sudah di tempat sampah di luar rumah bahkan sudah di tempat pembuangan sampah sekalipun terngiang tiada henti dan aku tak tahu ini sakit apa. 

Seminggu, rindu.
Sebulan, hati masih sakit.
Dua bulan, baru terasa marah.
Tiga bulan, hampa. 
Enam bulan, masih kecewa.
Setahun, aku baru sanggup menuliskan kisah ini: TAK ADA CINTA DALAM KISAH INI. 


1 komentar: