Minggu, 17 Juni 2018

while they party, I am astral traveling

Masih ingat dengan beberapa pesohor yang mengakhiri hidupnya? Di media sosial riuh ramai netizen berkomentar kalau mereka adalah orang-orang yang beriman tipis dan tidak punya Tuhan? Benarkah? Semudah itu mengatakan kalau orang yang bunuh diri tidak mengenal konsep ketuhanan hingga rapuh? Yakin?

Ada banyak hal yang membuat orang memilih mengakhiri hidupnya. Aku tidak menganjurkan manusia untuk mengakhiri hidupnya dengan tragis (tragis untuk dirinya dan keluarga juga teman-teman yang ditinggalkannya), akan tetapi juga tidak bisa mengatakan kalau orang yang bunuh diri itu berpikir pendek apalagi tidak mengenal Tuhan, beriman tipis dan tidak pernah bersyukur. Prosesnya pasti panjang dan rumit, pun mereka sudah pasti sendirian saat keputusan itu membulat. Sendiri ini, bahkan TULPA dan teman IMAJINASI pun tak ada yang menemani. Benar-benar sendiri dan hanya Tuhan yang menatap dan diratapi (jika orang itu percaya dengan Tuhan ... jika tidak pun, Tuhan tetap ada khan? Kalian percaya itu bukan?) Kita tidak tahu saat mereka memanggil waktu kematiannya sendiri, percakapan apa yang terjalin antara dirinya, hatinya, bahkan Tuhannya.

Depresi itu sebuah stress tekanan baik dari dalam dan luar. Apakah itu akibat atau penyebab, orang itu sendirilah yang tahu, atau paling tidak ketika dia ngobrol dengan Psikiater, baru kemudian akan tahu apa yang membuat dia stress dan depresi. Mudahnya adalah begini, kita bertemu dengan orang yang sedang kesulitan finansial, dan ketika bertemu dengannya, kita lalu bercerita betapa makmurnya kita dan lancarnya pekerjaan kita tanpa membaca tanda bahwa orang dihadapan kita sedang berjuang mencari pekerjaan yang layak. Saat itulah kita menambah tekanan pada beban hidup seseorang. Stress plus depressi bertumpuk-tumpuk. Kecuali, kalau orang yang kita hadapi Sanguinis, mungkin bisa sedikit cuek, kalau orang yang kita hadapi itu Melankolis, whoa! kita perlahan membuatnya makin terpuruk, karena cerita muluk-muluk kita yang tanpa solusi itu sebenarnya merusak mental!

Kalau secara medis, Depresi itu ada dua: Endogen dan Eksogen. Depresi Endogen itu karena perubahan pada sistem syaraf kimia otak hingga terjadi depresi, sedangkan yang eksogen itu karena masalah yang begitu besar sampai tidak tertanggung lagi. Banyak yang bilang kalau kita pasrah pada Tuhan karena Tuhan tidak akan menguji umatnya dengan lewati batas kemampuan mereka; syah-syah saja kok kalau percaya dengan ini. Itu bagus. Ayat itu membuat seseorang tidak patah semangat saat ditindih beban kehidupan. Tapi, tiap insan itu berbeda. Ada orang yang paling tidak kuat (stress) kalau disuruh antri, aku sebaliknya paling suka antri, karena aku bisa baca buku, nulis, baca buku lagi, nulis lagi saat mengatasi antri. Contoh lain, ada yang tidak sabar dengan macet, ada yang biasa saja. Ada yang sumpek kalau dikatain 'kamu gendutan ya?' ada yang biasa aja malah mungkin bisa mengatasi sambil bilang, 'kamu juga loh' ___ Tapi .. tetap saja kita akan sampai pada kesimpulan kalau orang yang depresi itu tidak memiliki tingkat keimanan yang tinggi, tidak pernah mensyukuri nikmat, dan tidak religius. Namun, pernah khan kita bertanyatanya: 'Mengapa Tuhan? Mengapa saya?' atau 'Mengapa mereka yang harus menanggung derita' dan lain sebagainya. Nah itu pertanyaan yang untuk sebagian orang terjawab, tapi untuk orang lain, mungkin karena sesaknya himpitan beban hidup, hingga mau ambil nafas saja susah. Akan tetapi jauh di dalam dirinya sudah terjawab dengan sebuah pilihan: maju atau menyerah.

Jadi mungkin sebaiknya adalah: daripada mengaitkan depresi dengan tingkat keimanan seseorang, apa engga sebaiknya mengajarkan bagaimana cara mengatasi tekanan itu? Semisal memberikan rumusan yang pas kapan harus nge-smash stress, dan kapan harus membakarnya supaya tekanan-tekanan itu mengendap dan kita menimbun masalah. Plus, jangan membuat orang yang sudah punya beban hidup ditambahi dengan omongan dan tuduhan yang tidak menyenangkan ... dibatin saja kalau punya pikiran yang aneh-aneh (HEY! semua orang punya beban hidup jadi hatihati aja kalau bicara hohoho).

Konon katanya kalau orang stress atau depresi itu mengurung diri di kamar ya? Engga juga lah. Justru sebagaian orang itu ke kamar untuk menghindarai stress (tekanan) dari mahkluk-makhluk di luar kamar. Jadi kamar itu tempat yang nyaman, asal tetap bersih. Kalau isinya sampah, kotor, maka akan mempengaruhi pola hidup yang lainnnya. Ada seorang dokter di internet yang mengatakan kalau 'depresi itu ngebuat kita ngerasa males ketemu orang. Males berinteraksi sama orang-orang' ... ; sebenarnya tidak juga ya. Justru sebagian orang (yang tertuduh sebagai orang depresi atas definisi ini) merasa kalau sedikit interaksi itu akan meminimalkan bertemu dengan tekanan-tekanan dari luar dan menyelamatkan tali silaturahmi ha ha ha.

Depresi yang menghancurkan itu adalah yang menggerogoti semangat -- apapun itu, baik kerja maupun hidup. Nah inilah yang ujung-ujungnya sampai pada keputusan untuk mengakhiri hidup -- dimana mereka yang depresi lebih memilih menyerah daripada maju, melawan dan menang. Ada juga depresi yang menghancurkan, tapi ia tidak fokus dalam self-destruction, tapi lebih trus menuju agresi ... bertindak kekerasan terhadap lingkungan sekitar. Dan ya ... semua butuh bantuan. Ketika dirinya sudah tak mampu berdialog sendiri antara akal sehat nurani jiwa dan fisiknya, keseimbangan dalam dirinya sudah ceraiberai, maka saat itulah mereka butuh bantuan orang-orang sekitar. Bantulah mereka untuk tidak dengan asal komentar mengenai keadaan mereka saat ini. Dukung mereka dari belakang bukan malah menarik mereka agar menjadi pusat perhatian.

Kuharap, tandatanda ketika tubuh tengah mendapati tekanan/stress atau depresi, seperti sakit kepala, maag, badan pegal-pegal, lebih dikenali sejak dini. Jadi saat maag melanda, selain menjaga pola makan, jaga pula ritme ketenangan jiwa. Carilah halhal yang membuat tenang seperti kalau aku, membaca buku. Apa saja yang membuat jiwamu tenang, tanpa harus mengakhiri hidup dan membuat sedih keluarga yang ditinggal dengan cara yang tragis dan bikin kaget: bisa juga dicoba dengan Astral Traveling. Jadi saat orang dihadapan kita ngobrol hal-hal yang berpotensial membuat kita makin sumpek, tatap mata mereka, atur tubuh untuk sesekali mengangguk dan senyum, tapi menyuruh otak untuk menutup rapat telinga dan kita jalanjalan secara astral. Bahkan saat mereka ngajak kita ngobrol, kita bisa bikin skedul apa yang akan kita lakukan besok atau mungkin mencuri dengar pembicaraan di ruang sebelah yang mungkin lebih asyik. Aku tidak melakukan hal ini dalam setiap obrolan yang kuhadiri, hanya obrolan yang aku lihat membawa potensi yang tidak baik. Darimana aku bisa mengetahuinya? Pengalaman. Kalian juga akan tahu sendiri kapan sebuah obrolan menjadi tidak menyenangkan, dan saat itu akan datang langsung tekan tombol || AstraL || tadi.  []




==== cerita kecil ====

Aku punya teman yang dulu kita sempat kerja bareng di sebuah badan amal. Sebut saja yang perempuan, si A dan yang laki-laki si B. Mereka berdua rekan kerjaku. Dulu sih mereka masih single semua, si A cantik enerjik dan si B cakep gesit. Lama tak bersua, kirakira lebih dari 15 tahun, aku bertemu dengan mereka di pinggir jalan, keduanya, nampak lusuh -- seperti didera lelah. Mereka tengah naik motor bersama anak mereka duduk di depan -- anaknya lucu sekali. Mereka memanggilku, aku mendekat. Perlahan, aku lihat guratan kerut di wajah mereka, makin lama makin nampak jelas, tapi senyum mereka yang serentak, sontak membuatku berkata: 'Kalian makin kompak aja, bikin iri' 

Mereka tertawa terbahak, bahagia, dan sekejap, nampak mereka 10 tahun lebih muda dan jauh lebih bahagia dariku. Persis seperti saat jadi teman sejawat di kantor mereka gaduh dan riuh bercanda. Tak lama kita berpamitan. Saat mereka melambai, aku berharap saat bertemu lagi, mereka 10 tahun lebih muda lagi dari sekarang.

Bisa terbayang bukan kalau aku saat itu berkomentar: 'Lhaah kalian kok tambah gemuk dan beruban sekarang??' ... mereka akan pulang menuju rumah dengan lunglai dan pertemuan singkat itu jadi pertemuan yang menyedihkan! Yang ingin kusampaikan, kita harus bisa melihat ada apa dibalik senyuman yang rapuh itu, hal baik apa yang nampak? Sampaikanlah. Bukan yang nampak (fisik) yang disampaikan, tapi hal yang mampu mengubah mood negatif orang menjadi positif (metafisik!). Fisik itu tidak abadi, tidak usah dibanggakan dan disebutsebut, yang meta, itu jauh lebih tahan lama. Ya khan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar