Minggu, 19 Februari 2017

Di tepian kolam renang ...

Setiap hari Minggu pagi, aku mengantar anakku latihan berenang. Seperti biasa ketika dia kulepas berenang dengan pelatihnya, aku duduk di tepian dan mulai nerawang ke sana kemari. Mengamati suasana liburan di kolam renang, ada yang renang satu keluarga, ada yang renang dengan kelompok bermainnya, ada yang renang sendirian, satu-satu sekejap kuamati. 
Hari ini, aku melihat anak laki-laki mungkin umur 9 tahun, perawakannya sama besar dengan anakku yang 6 tahun, tapi dia renang dengan lincahnya. Dua putaran, dalam waktu yang cepat, dan dia tidak sendiri, tapi di dampingi oleh pelatihnya (mungkin). Dari tepian kolam, ayahnya merekam anaknya dengan kameranya. Pasti bersyukur bahagia dia, anaknya bisa berenang selincah itu dengan umur yang masih kecil. Lalu aku melempar lamunan ke arah anakku yang semangat latihan renang -- dia berjuang menyempurnakan kekuatan nafasnya. Aku bersyukur. Beberapa bulan yang lalu kalau main di kolam renang, kepalanya selalu kering, dia hanya main kecipak air, tidak berani jika air menyentuh kepala dan wajah, tapi setelah beberapa kali latihan saja, dia sudah tidak takut lagi dengan air dan tidak hanya main kecipak saja tapi sudah mencoba-coba untuk berenang sendiri dengan gaya-gayanya sendiri. 


Tadi ini, usai latihan, seperti biasa, pelatihnya selalu bercerita tentang proses latihannya, kemajuan dan kendala saat latihan diungkapkan, aku biarkan Suhaila mendengarkannya biar dia bisa paham bahwa proses belajar renang tidak cuma usaha pelatih dan dirinya, tapi juga tugas ibunya sebagai tukang setting mood anaknya sebelum berangkat ke kolam renang atau saat nemeni dia latihan pernafasan di rumah. Meski ku belum bisa berenang, setidaknya sedikit teori renang tidak akan membuatku tenggelam ;)

Saat pelatih tengah menuliskan ulasan capaian les di lembaran les anak, seorang Ibu yang duduk tak jauh dari kita bertanya:
Ibu: sudah berapa lama latihan anaknya?
Aku tidak ingat benar. Tapi pelatih Haila menjawab:
Pelatih: sudah 8 kali + 4 kali, jadi 12 kali latihan.

Kemudian aku dan pelatih ngobrol lagi, sementara si Ibu itu memperhatikan kita berdua. Mungkin juga mendengarkan, karena saat Pelatih cerita tentang event kejuaran kemarin, dia menimpali:

Pelatih: Kemarin saat lomba itu ada anak yang belum sempurna survive tapi sudah bisa macam-macam gaya. Anaknya nangis saat renang di kolam yang dalam. Jadi memang survive itu penting. Anaknya masih kecil juga.
Aku: Iya coach, Suhaila please dibanyakin saja latihan survivenya. 
Dan si ibu mulai bertanya:
Ibu: Kalau latihan untuk anak umur 5,5 tahun bisa?

Kemudian pelatih menjawab kalau anak di bawah 6 tahun masih moody jadi kadang mau, kadang suka ngambek. Si ibu tidak berkomentar atas jawaban pak Pelatih. Tapi melempar pertanyaan lain lagi:

Ibu: Latihannya berapa lama?
Pelatih: biasanya 1,5 jam tapi tadi ini mood haila langsung drop dan sampai sejam saja. 
Ibu: Sudah mulai gaya apa saja?

Lalu kutimpali tapi ku sambil berbicara ke arah pelatih juga bahwa ku ingin Suhaila bisa survive di air, jadi tidak lagi was-was kalau lihat dia jalan di pinggiran kolam yang dalam karena sudah bisa 'mengayuh dalam air' dan tidak tenggelam. Dan pelatih pun juga setuju, bahkan saat itu sekalian merencanakan porsi latihan Suhaila untuk minggu depan. "Okay besok latihan porsi survivenya ditambah" kata pak Pelatih. Sambil berpamitan dan mengucap terima kasih, kita berpisah. Tak lupa aku pun berpamitan kepada Ibu yang tadi  berada di dekat kita. 

Aku: mari bu pulang duluan.
Ibu: eh tunggu ... sudah lama latihannya?
Aku: tadi kata coachnya 12 kali ya?
Ibu: sudah bisa gaya apa aja?
Aku: eh??
Ibu: sudah bisa berapa gaya?
Aku: ha? eh??
Aku engga bisa jawab, beberapa detik blank. Kok tetiba dia tanya begitu ya? Bukannya sudah dengar kalau tadi anakku baru 12 kali latihan dan masih harus memperbaiki kemampuan mengapung dan mengayuh dalam air. Gaya apa yang bisa dia gunakan kalau masih harus banyak teknik dasar renang yang dia pelajari sebelum ber-Gaya?! Dan ibu itu masih nanya lagi:

Ibu: sudah ikut berapa kali lomba?
Aku: lomba? ha? bukan. Anakku renang biar sehat dan punya kemampuan renang, juga buat ngatasin rasa takutnya dengan air. Alhamdulillah semua sudah tercapai, jadi ini tinggal menyempurnakan kemampuan renangnya. 
Ibu: iya, tapi sudah bisa gaya apa aja? Jadi belum pernah ikut lomba? 
Aku: gaya lomba?

Lalu, Ibu itu dengan meninggalkanku dalam posisi kebingungan menjawab, dia menunjuk ke arah kolam: "itu anakku ... yang sudah lancar renang itu"

GLEG!

Anak laki-laki yang kuceritakan diawal tadi, yang kukira umur 9 tahun, yang sempat beberapa kali direkam kamera oleh ayahnya - ya, yang sudah lancar renang itu -- ITU ADALAH anak dia. Aku, tak mampu berucap kata selain, "Iya terima kasih" membungkuk badan dan pamitan pulang. Sayang sekali dialog tak akan ada lagi. Si Ibu tidak tahu kalau anakku pun punya banyak prestasi dan banyak kemajuan yang mungkin tidak dapat piala atau masuk berita, tapi cukup membahagiakan di mata orang-orang terdekatnya. 

Mungkin renangnya belum bisa beberapa GAYA, tapi sudah ada beberapa JAYA. 
1. Suhaila makin sehat
2. Sembelit akutnya sembuh total! Semua syaraf-syaraf tubuhnya bekerja sangat baik sehingga ritual buang hajatnya tidak sesusah dulu. 
3. Dia makin percaya diri karena merasa bisa mengatasi ketakutannya dengan air.
4. Tidak takut air lagi, menyelam bolak-balik tidak takut sama sekali. Padahal dulu pakai kacamata renang saja dia ketakutan dan sangat kikuk. 

Tidak ada salahnya menunjukkan bakat anakmu, Ibu. Cuma jangan dengan cara seperti itu. Itu hanya akan membuat dirimu dan diriku seperti berada di sebuah Drama, aku berperan sebagai ibu yang ceroboh, dan kamu ibu yang sempurna. Haduh aku jadi sedih (^_^);

Padahal jujur saja kalau ku bukan Ibu yang berharap segala sesuatu itu kompetisi dan harus menang. Kalau Suhaila renang, bukan untuk kejuaraan. Kalau dia main piano pun juga bukan untuk manggung di sana-sini tapi lebih agar kelak dia bisa melampiaskan emosinya dalam musik daripada marah dan gusar tak tentu arah. Ya mungkin bisa jadi suatu saat Suhaila ikut lomba renang meski sebetulnya bukan tipe Suhaila demen ikut perlombaan, tapi saat ini, dia sudah menang dengan lombanya sendiri -- mengalahkan rasa takut.
Tapi ku juga jujur, saat lihat anak Ibu berenang, ada doa yang kulepas: 'semoga Suhaila bisa berenang selancar anak itu, demi kebaikan dirinya' Jadi, jauh sebelum mendengar ibunya melepas 'pujian' ke anaknya, aku sudah memujinya lebih dahulu =)


NB: Terima kasih pak Pelatih :) 

2 komentar:

  1. si Ibu itu cerewet sekali, ya.
    seringkali cuma liat luarnya aja, tanpa mengetahui maksud sebenarnya. #gemes

    BalasHapus
    Balasan
    1. sakjane aku ya cerewet, tapi ibunya lihai menelan lawan bicara. ilmu tingkat tinggi ini ha ha ha. eh kemaren anakku nyoba puisi pakai salah satu puisimu loh. ga kurekam hape mati lowbat ;)

      Hapus