Rabu, 29 Mei 2013

Kadang kesunyian ...

Zelikha: Musa ....
Musa: yaa
Zelikha: when u met Initial A , hows yer feelin?
Musa: kinda weird
Zelikha: really?
Musa: coz i love his lover
Musa: :)
Zelikha: hihi ...
Musa: when u meet him how u feel?
Zelikha: biasa aja
Zelikha: i dont pay attention much on him ...
Zelikha: my eyes on you
Musa: really..?
Musa: :) hihi


Dia berlari kecil mengejar waktu yang sempit di antara segala deadline pekerjaan. Sekedar sapaan cukup buatnya. Tapi yang sekedar itu membuatnya lupa kalau dia sudah ada yang punya. Kalau dia milikku. Perlahan dia melepas ikatan perak di jarinya dan menggantungnya di sebuah paku di kamarnya. Dengan harapan kalau dia keluar masuk kamar, dia setidaknya masih ingat kalau dia sudah ada yang punya. Tapi tidak, lambat laun dia keluar masuk kamar tanpa merasa bahwa dia menggantung sesuatu di sebuah paku di pintunya. Hingga kemudian hari paku itu terlepas beserta perak yang melingkar di jarinya. Kini, tak ada sesuatu yang melingkar di paku atau jari manisnya.

Tapi ku tidak pernah menanyakan hal itu. Paku dan perak yang melingkarinya tidak pernah menjadi bahasan. Dia mulai membahas Doa Malaikat Jibril – sebuah bahasan yang tidak pernah kita bahas sebelumnya. Dia bertanya apakah aku tahu mengenai doa itu. Dan ketika kujawab tidak, ‘dia melihat kembali ke telepon genggamnya.’ Kadang kesunyian adalah jawaban terbaik atas sebuah percakapan. Bagaimana tidak, aku tak pernah  berurusan dengan Doa Malaikat Jibril. Tapi … tunggu dulu … Ku teringat sesuatu. Pernah suatu hari aku dan dia pergi menjumpai seseorang, sebut saja namanya pak Kaji. Dia memberikan doa Malaikat Izrail padaku. Dia bilang, ‘dibaca selepas sembahyang, 9 kali dihadapan secawan air, minum airnya dan untuk wudhu, setiap hari. Agar terlepas apa yang terjadi oleh orang-orang sebelummu tidak menimpa dirimu. Energimu kuat, kamu pasti bisa.’ Tapi aku tidak membaca Doa Malaikat Izrail. Apalagi mengenal doa Malaikat Jibril. Ini salahku.

Salahku juga, saat kutemukan bau busuk dari sakunya, sebuah nama dan alamat; aku menyerah dan mengalah. Tidak bisa kupercaya, di tahun yang sama saat aku tidur di meja belajarnya dan dia tidur di sofaku, ditahun yang sama pula dia menitipkan hatinya ke orang lain.

‘Kau tidak suka sofa yang biasa menemanimu nonton film?’
‘ …. ’ dia terdiam
‘Lantas kenapa kau bilang kau cinta mati pada sofa itu? Kenapa? Kita sekarat aja belum kenapa kau bilang cinta sampai mati? Sekarang, hatiku yang mati.’

Matinya sebuah hati adalah saat kita mengira kita benar-benar bahagia dan dunia milik kita berdua; padahal milik mereka berdua. Kadang kesunyian adalah jawaban terbaik saat hati mati.

Dan kembalilah aku ke Musa – kesunyianku. 

2 komentar:

  1. Asyik dan menentramkan tulisan-tulisannya mbak Aida :)

    Hehehe..

    BalasHapus